Monday, July 09, 2007

Tidak ada shalat tanpa bersuci dan tidak ada shadaqah dari harta haram

Dari 'Abdullah bin 'Umar radhiyallahu 'anhuma, Rasulullah Shallallahu 'alayhi wa Sallam bersabda (yang artinya):

لاَ تُقْبَلُ صَلاَةٌ بِغَيْرِ طُهُورٍ وَلاَ صَدَقَةٌ مِنْ غُلُولٍ

"Tidak diterima shalat tanpa bersuci dan tidak ada shadaqah dari ghulul." (HR. Muslim)

Hadits serupa dengan lafazh yang berbeda-beda juga diriwayatkan Ibnu Majah dan Ibnu Hibban dari Ibnu 'Umar, ath-Thabrany dalam al-Awsath dari az-Zubayr serta Ibnu Khuzaymah, Abu 'Awanah dalam Mustakhraj dan Abu Ya'la dalam Musnad-nya dari Abu Hurayrah.

Mengenai hadits ini, yang dimaksud dengan "tidak diterima" adalah penafian. Penafian lebih kuat dari pengharaman karena penafian mengandung dua perkara:

  • haramnya perbuatan itu
  • batalnya ibadah terkait
Namun lafazh "tidak diterima" tidak selalu bermakna batalnya ibadah itu. Cara membedakannya adalah dilihat dari apakah perbuatan tersebut terkait dengan ibadah itu atau tidak.

Sebagai contoh, hadits bahwa orang yang pergi ke dukun dan bertanya padanya sesuatu maka shalatnya tidak diterima selama 40 hari. Hadits ini diartikan bahwa orang itu tidak memperoleh ganjaran shalat yang ia lakukan karena pergi ke dukun bukanlah bagian dari ibadah shalat. Sedangkan dalam hadits di atas, bersuci adalah bagian dari shalat sehingga di sini maknanya adalah penafian yang mencakup batalnya ibadah shalat.

Hadits ini menunjukkan bahwa bersuci termasuk syarat sahnya shalat. Shalat di sini mencakup semua jenis shalat, baik yang memiliki ruku' dan sujud atau selainnya.

Apakah hukumnya seseorang dengan sengaja shalat dalam keadaan tidak bersuci? Ada dua pendapat:
  • Ia memperoleh 'adzab. Ini adalah pendapat jumhur.
  • Ia kafir. Ini adalah pendapat Hanafiyah. Pengkafiran ini adalah karena shalat dalam keadaan tidak suci adalah bentuk mengolok-olok shalat sedangkan mengolok-olok bagian dari syari'at adalah perbuatan kufur (lihat QS. 9:64-66).
Bagian kedua adalah mengenai sumber harta shadaqah. Shadaqah ada tiga macam:
  • shadaqah wajibah yakni zakat.
  • shadaqah sunnah
  • kaffarah seperti fidyah dan pembatalan sumpah.
Ghulul adalah harta yang diambil dari ghanimah (rampasan perang) sebelum dibagi. Di sini yang dimaksudkan adalah harta yang diambil dengan cara khianat mencakup juga uang suap dan yang semisalnya. Ini merupakan dalil bahwa tidak diterima shadaqah dari harta yang haram.

[Dari kajian ba'da Shalat Jum'at bersama Syaikh 'Abdul Qadir al-Junayd hafizhahullah di Masjid 'Utbah bin Ghazwan radhiyallahu 'anhu, Dammam, KSA tanggal 6 Juli 2007]

Sunday, July 08, 2007

Barcode 666?

Catatan: sebelumnya saya telah mencoba mengirimkan koreksi ini ke alamat info {at} eramuslim.com sebagaimana tercantum di halaman kontak (http://www.eramuslim.com/info/kontak.htm) namun ternyata gagal diterima dengan pesan "PERM_FAILURE: SMTP Error (state 13): 553 5.1.1 Sorry, that recipient does not exist." Harap yang memiliki kontak ke Eramuslim untuk menyampaikannya.

Eramuslim memiliki artikel berjudul "Ada Angka Iblis di Tiap Barcode"

http://www.eramuslim.com/berita/tha/45d16eb9.htm

Ada baiknya untuk dikaji lagi pemberitaan itu karena dapat dikatakan tidak berdasar.

Lihat:

http://www.av1611.org/666/barcode.html
http://www.howstuffworks.com/upc.htm
http://educ.queensu.ca/~compsci/units/encoding/barcodes/undrstnd.html
http://microscan.com/e-learning/content/pdf/linearbar_codes_101.pdf

Bisa dicoba juga membuat barcode di:

http://www.terryburton.co.uk/barcodewriter/generator/

Coba pilih encoder UPC-A dan contents 66666666666.

Muslim Girl vs Seventeen

Catatan: sebelumnya saya telah mencoba mengirimkan koreksi ini ke alamat info {at} eramuslim.com sebagaimana tercantum di halaman kontak (http://www.eramuslim.com/info/kontak.htm) namun ternyata gagal diterima dengan pesan "PERM_FAILURE: SMTP Error (state 13): 553 5.1.1 Sorry, that recipient does not exist." Harap yang memiliki kontak ke Eramuslim untuk menyampaikannya.

Dalam artikel berjudul "Majalah Muslim Girl di AS, Saingi Tiras Seventen":

http://www.eramuslim.com/berita/int/7328112758-majalah-muslim-girl-as-saingi-tiras-seventen.htm

disebutkan:

"Memasuki bulan ketiga, majalah Muslim Girl, yang terbit di Amerika, makin mendapat sambutan pasar yang luas di kalangan remaja puteri AS. Tiras majalah Islam yang baru muncul itu kini sudah mendekati tiras majalah remaja AS Seventen, yang semula merajai minat remaja puteri di Amerika."

(penebalan dari saya)

Pernyataan tersebut berlebihan karena menurut:

http://www.mediabuyerplanner.com/2006/11/08/seventeen-editor-in-chief-calls-it-quits/
(tertanggal 8 November 2006)

sirkulasi Seventeen mencapai 2,01 juta sedangkan menurut:

http://www.startribune.com/389/story/1220305.html
(tertanggal 3 Juni 2007)

sirkulasi Muslim Girl adalah 50.000. Kedua angka itu rasanya tidak tepat dikatakan "mendekati".

Saya harapkan berita tersebut dapat dikoreksi agar lebih sesuai dengan fakta.

Wabillahit tawfiq.

Popular Science: The Worst Jobs in Science 2007

Number 10: Whale-Feces Researcher
They scoop up whale dung, then dig through it for clues

Number 9: Forensic Entomologist
Solving murders by studying maggots

Number 8: Olympic Drug Tester
When your job is drug testing the world's top athletes, there's no way to win

Number 7: Gravity Research Subject
They're strapped down so astronauts can blast off

Number 6: Microsoft Security Grunt
Like wearing a big sign that reads "Hack Me"

Number 5: Coursework Carcass Preparer
They kill, pickle, and bottle the critters that schoolkids cut up

Number 4: Garbologist
Think Indiana Jones— in a Dumpster

Number 3: Elephant Vasectomist
When your patient is Earth's largest land animal, sterilization is a big job

Number 2: Oceanographer
Nothing but bad news, day in and day out

Number 1: Hazmat Diver
They swim in sewage. Enough said.

http://www.popsci.com/popsci/science/0203101256a23110vgnvcm1000004eecbccdrcrd.html

Dialog 'Abdullah bin 'Abbas radhiyallahu 'anhuma dengan kaum Khawarij

Catatan: Tulisan ini adalah sebagai tambahan posting Pak Syamsul tentang Khawarij di sini.

Ketika kaum Haruriyah (salah satu kelompok Khawarij) mengasingkan diri ke sebuah kampung, saat itu mereka berjumlah enam ribu orang, mereka sepakat melakukan pembangkangan terhadap Ali bin Abi Thalib radhiyallahu 'anhu. Orang-orang terus-menerus mendatangi Ali dan berkata: "Wahai Amirul Mukminin, sesungguhnya mereka telah membangkang terhadapmu." Ali berkata: "Biarkanlah mereka; aku tidak akan memerangi mereka hingga merekalah yang lebih dahulu memerangiku, dan tidak lama lagi mereka akan melakukannya."

Pada suatu hari, aku pun (yakni Abdullah bin Abbas radhiyallahu 'anhuma) datang menemui beliau sebelum shalat Zhuhur. Kukatakan kepadanya: "Wahai Amirul Mu'minin, akhirkanlah pelaksanaan shalat hingga suhu udara dingin, barangkali aku bisa berdialog dengan mereka, kaum Khawarij." "Aku mengkhawatirkan keselamatanmu," kata Ali. Saya katakan: "Jangan khawatir, aku adalah orang baik-baik dan tidak pernah menyakiti orang lain." Akhirnya, Ali pun merestuiku.

Aku pun mengenakan pakaian dari Yaman yang bagus, memperbaiki penampilanku lalu datang menemui mereka di tengah hari. Saat itu mereka tengah makan siang. Belum pernah aku lihat orang yang lebih tekun beribadah daripada mereka. Kulihat dahi mereka menghitam karena terlalu lama sujud. Tangan mereka kapalan seperti tapak kaki unta. Mereka mengenakan pakaian usang dengan lengan baju tersingsing ke atas dan wajah cemberut. Aku mengucapkan salam kepada mereka. "Selamat datang hai Ibnu Abbas! Pakaian apa yang engkau pakai itu!?" tanya mereka ketus. Abdullah bin Abbas menjawab: "Apakah kalian mencelaku karena mengenakan pakaian ini? Sungguh, penampilan Rasulullah shallallahu 'alayhi wa sallam yang terbaik yang pernah kulihat adalah tatkala beliau mengenakan pakaian dari Yaman!" Kemudian aku membacakan firman Allah Subhanahu wa Ta'ala:

"Katakanlah: "Siapakah yang mengharamkan perhiasan dari Allah yang telah dikeluarkan-Nya untuk hamba-hamba-Nya dan (siapa pulakah yang mengharamkan) rezeki yang baik?"" (QS. al-A'raaf 7:32)

"Apa tujuanmu datang ke mari?" selidik mereka. Abdullah bin Abbas menjelaskannya: "Aku adalah utusan shahabat Nabi shallallahu 'alayhi wa sallam dari kalangan Muhajirin dan Anshar, utusan keponakan Rasulullah shallallahu 'alayhi wa sallam dan menantu beliau - atas merekalah al-Qur'an diturunkan. Mereka lebih mengetahui maksudnya daripada kalian. Tidak ada satu pun di antara kalian yang berasal dari mereka-. Aku ingin menyampaikan perkataan-perkataan kalian kepada mereka!" Salah seorang dari mereka berkata: "Tidak usah diladeni orang Quraisy itu, sebab Allah 'Azza wa Jalla telah mengatakan:

"Sebenarnya mereka adalah kaum yang suka bertengkar." (QS. az-Zukhruf 43:58)

Lalu beberapa orang dari mereka datang menemuiku. Dua atau tiga orang dari mereka berkata: "Mari kita berdialog dengannya!" Maka aku katakan: "Sebutkanlah, mengapa kalian memusuhi Shahabat Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam dan keponakan beliau!" "Karena tiga hal!" kata mereka. "Apa itu?" tanyaku. Mereka berkata: "Pertama, ia (Ali) mengangkat manusia sebagai hakim dalam memutuskan hukum Allah. Padahal Allah telah berfirman:

"Keputusan itu hanyalah kepunyaan Allah." (QS. Yusuf 12:40)

Lalu buat apa manusia diikutsertakan dalam memutuskan hukum Allah? "Ini masalah pertama," kataku. Mereka melanjutkan: "Adapun masalah kedua, ia telah berperang namun tidak mengambil tawanan dan harta rampasan perang. Sekiranya orang yang diperanginya itu kafir; tentu mereka boleh ditawan. Namun sekiranya mereka adalah mukminin, maka mereka tidak boleh ditawan dan diperangi." "Ini masalah kedua, lalu apa masalah ketiga?" tanyaku. Mereka menyebutkan masalah ketiga, kira-kira seperti ini maknanya, Mereka berkata: "Ia telah menghapus dirinya dari jabatan Amirul Mu'minin, jika ia bukan Amirul Mu'minin berarti ia adalah amirul kafirin." "Adakah masalah lain selain itu?" tanyaku. "Cukup tiga masalah itu saja!" kata mereka.

Maka kukatakan kepada mereka: "Bagaimana sekiranya kubacakan kepada kalian ayat-ayat Al-Qur'an dan Sunnah Nabi-Nya shallallahu 'alaihi wa sallam yang menolak alasan kalian itu, apakah kalian bersedia rujuk?" "Tentu!" jawab mereka. Maka aku pun berkata: "Adapun ucapan kalian: 'Ia telah mengangkat manusia sebagai hakim dalam memutuskan hukum Allah,' saya akan membacakan kepada kalian satu ayat dalam Kitabullah, dalam ayat itu Allah menyerahkan keputusan hukum kepada manusia tentang denda sebesar delapan seperempat dirham. Allah Tabaaraka wa Ta'ala memerintahkan supaya menyerahkan hukum kepada mereka dalam masalah ini. Coba simak firman Allah Tabaaraka wa Ta'ala berikut:

"Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu membunuh binatang buruan, ketika kamu sedang ihram. Barang siapa di antara kamu membunuhnya dengan sengaja, maka dendanya ialah mengganti dengan binatang ternak seimbang dengan buruan yang dibunuhnya, menurut putusan dua orang yang adil di antara kamu." (QS. Al-Maa-idah 5:95)

Salah satu hukum Allah adalah menyerahkan keputusan hukum kepada manusia untuk menyelesaikan masalah tersebut. Sekiranya dia mau, dia boleh menetapkan hukum dalam masalah tersebut. Berarti Allah membolehkan kita menyerahkan hukum kepada manusia. Demi Allah, manakah yang lebih afdhal, menyerahkan keputusan hukum kepada manusia untuk mendamaikan dua pihak yang bertikai dan untuk menghentikan pertumpahan darah ataukah menyerahkan keputusan hukum kepada manusia untuk menentukan nasib seekor kelinci?

"Tentu saja yang pertama lebih afdhal!" jawab mereka.

Abdullah bin Abbas melanjutkan: "Dan Allah menyerahkan keputusan hukum kepada manusia dalam menyelesaikan masalah suami isteri. Allah berfirman:

"Dan jika kamu khawatirkan ada persengketaan antara keduanya, maka kirimlah seorang hakam dari keluarga laki-laki dan seorang hakam dari keluarga perempuan." (QS. An-Nisaa' 4:35)

Demi Allah, aku bertanya kepada kalian, manakah yang lebih afdhal, menyerahkan keputusan hukum kepada manusia untuk mendamaikan dua pihak yang bertikai dan menghentikan pertumpahan darah ataukah menyerahkan keputusan hukum kepada manusia untuk menyelesaikan masalah perempuan?"

"Tentu saja yang pertama lebih afdhal!" jawab mereka.

Abdullah bin Abbas radhiallahu 'anhum berkata: "Apakah kalian bersedia menarik perkataan kalian?"

"Ya bersedia!" jawab mereka.

Aku (Abdullah bin Abbas) berkata: "Ia berperang tapi tidak mengambil tawanan dan harta rampasan perang," maka apakah kalian mau menawan Ummul Mu'minin 'Aisyah radhiallahu 'anha, lalu menghalalkan atasnya apa yang kalian halalkan atas selainnya sementara ia adalah Ummahatul Mukminin? Jika kalian katakan: Kami menghalalkan atasnya apa yang dihalalkan atas selainnya berarti kalian telah kafir. Jika kalian katakan: Ia bukan Ummul Mu'minin, maka kalian telah kafir, karena Allah berfirman:

"Nabi itu (hendaknya) lebih utama bagi orang-orang mukmin dari diri mereka sendiri dan istri-istrinya adalah ibu-ibu mereka." (QS. Al-Ahzab 33:6)

Jadi, kalian berada di antara dua kesesatan. Silahkan pilih salah satu di antara keduanya? Apakah kalian bersedia menarik ucapan kalian?"

"Ya kami bersedia!" jawab mereka.

'Abdullah bin 'Abbas radhiyallahu 'anhuma melanjutkan: "Adapun alasan ketiga: "Ia telah menghapus dirinya dari jabatan Amirul Mu'minin," maka aku akan memberikan contoh dari orang yang kalian cintai: Sesungguhnya Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam pada hari Hudaibiyah saat menandatangani perjanjian gencatan senjata dengan kaum musyrikin, beliau berkata kepada 'Ali: "Tulislah wahai 'Ali: Ini adalah perjanjian yang dibuat oleh Muhammad utusan Allah.

Orang-orang musyrik itu berkata: "Kalaulah kami mengetahui bahwa engkau adalah utusan Allah tentu kami tidak memerangimu."

Maka Rasulullah shallallahu 'alayhi wa sallam berkata: "Hapuslah tulisan itu wahai 'Ali, beliau telah menghapus dirinya dari jabatan kenabian, namun bukanlah berarti jabatan tersebut terlepas dari beliau! Apakah beliau bersedia menarik ucapan kalian?"

"Ya kami bersedia!" jawab mereka.

Maka dua ribu orang dari mereka pun rujuk kepada kebenaran, sementara mayoritas dari mereka tetap bersikeras membangkang terhadap 'Ali. Mereka pun mati di atas kesesatan setelah diperangi oleh kaum Muhajirin dan Anshar."

[Riwayat shahih, dikeluarkan oleh 'Abdurrazzaq dalam al-Mushannaf (18678), Ahmad (I/342), Abu Ubaid dalam al-Amwaal (444), an-Nasa-i dalam Khashaaish 'Ali (190), al-Fasawi dalam al-Ma'rifah wat Taariikh (I/522-524), al-Hakim (II/150-152), Abu Nu'aim dalam Hilyatul Auliya' (I/318-320), al-Baihaqi dalan as-Sunanul Kubra (VII/179), Ibnu 'Abdil Barr dalam Jaami' Bayaanil 'Ilm (II/103-104), Ibnul Jauzi dalam Talbiis Ibliis (halaman 91-93) dan Abul Faraj al-Jariiri dalam al-Majliisush Shaalihul Kaafi(I/558-560), seluruhnya dari jalur 'Ikrimah bin 'Ammar, ia berkata: "Abu Zamil telah menceritakan kepadaku, ia berkata: 'Abdullah bin 'Abbas telah menceritakan kepadaku, lalu ia menyebutkan kisah tersebut."

Al-Hakim berkata: "Shahih, sesuai dengan syarat Muslim." Dan disetujui oleh adz-Dzahabi. Saya (Syaikh Salim bin 'Ied al-Hilali) katakan: "Benar kata mereka berdua!"]

[Disalin dari terj. Mausuu'ah al-Manaahiyyiys Syar'iyyah fii Shahiihis Sunnah an-Nabawiyyah (Ensiklopedi Larangan Menurut Al-Qur'an dan As-Sunnah) karya asy-Syaikh Salim bin 'Ied al-Hilali, Jilid 1 hal. 177-180]

DISKUSI TANPA PERDEBATAN

Jauhilah perdebatan, karena akan menjadi bencana. Adapun berdiskusi dalam kebenaran adalah kenikmatan. Sebab akan bisa menampakkan mana yang benar dan mana yang bathil, mana yang kuat dan tidak. Diskusi ini didasari atas saling menasehati, kasih sayang dan keinginan menyebarkan ilmu. Adapun perdebatan hanyalah ingin menang, riya', mencari kesalahan, sombong, yang penting menang, permusuhan dan membodohi orang yang memang bodoh. Maka jauhilah perdebatan ini, juga jauhilah orang yang suka debat, niscaya engkau akan selamat dari dosa dan perbuatan haram.

Diskusi bisa menyebabkan seseorang faham dan mampu untuk berdebat. Sedangkan berdebat dalam mencari kebenaran diperintahkan oleh Allah, sebagaimana firman-Nya (yang artinya):

"Serulah (manusia) kepada jalan Tuhanmu dengan hikmah dan pelajaran yang baik dan bantahlah mereka dengan cara yang baik..." (QS. an-Nahl 16:125)

Apabila seseorang terbiasa dengan diskusi dan perdebatan, maka dia akan memperoleh banyak kebaikan, karena betapa banyak orang yang berdebat dengan ahli bathil lalu kalah karena dia tidak mampu untuk berdebat. Perdebatan itu ada dua macam:

Pertama, perdebatan untuk membodohi orang bodoh dan menantang orang pintar agar bisa mengalahkannya, perdebatan ini tercela.

Kedua, perdebatan untuk mencari kebenaran meskipun kebenaran itu ada pada lawan debatnya. Perdebatan yang ini diperintahkan. Ciri-ciri dari perdebatan ini adalah apabila sudah sampai pada sebuah kebenaran, maka dia menerimanya dan kembali kepada kebenaran tersebut. Adapun kalau perdebatan itu hanya untuk membela diri, maka meskipun sudah nampak kebenaran baginya dia akan kembali mempertanyakan dengan mengatakan: "Seandainya ada yang mengatakan demikian bagaimana?" Dan apabila sudah dijawab, maka dia pun berkata lagi: "Seandainya ada lagi yang berkata demikian, maka bagaimana jawabannya?" Dan demikian terus tidak selesai-selesai. Orang semacam ini berbahaya karena hatinya tidak mau menerima kebenaran, baik saat berdebat dengan orang lain maupun saat merenung sendiri. Mungkin ada syaithan yang menanyakan pertanyaan-pertanyaan di atas. Sebagaimana firman Allah Ta'ala (yang artinya):

"Dan (begitu pula) Kami memalingkan hati dan penglihatan mereka seperti mereka belum pernah beriman kepadanya (Al Qur'an) pada permulaannya, dan Kami biarkan mereka bergelimang dalam kesesatannya yang sangat." (QS. al-An'aam 6:110)

Juga firman-Nya (yang artinya):

"...Jika mereka berpaling (dari hukum yang telah diturunkan Allah), maka ketahuilah bahwa sesungguhnya Allah menghendaki akan menimpakan musibah kepada mereka disebabkan sebahagian dosa-dosa mereka...." (QS. al-Maa-idah 5:49)

Saudaraku... hendaknya engkau mencari kebenaran baik saat berdebat dengan orang lain ataupun saat merenung sendirian, kalau kebenaran itu sudah nampak maka segeralah mengatakan saya dengar dan saya akan menaatinya. Oleh karena itu para Sahabat menerima hukum Rasulullah Shallallahu 'alayhi wa Sallam tanpa membantah sedikitpun, juga mereka tidaklah mengatakan bagaimana pendapatmu tentang hal ini dan itu. Ada seseorang yang berdebat dengan 'Abdullah bin 'Umar radhiyallahu 'anhuma lalu dia berkata bagaimana pendapatmu? Maka beliau menjawab: "Jadikanlah ucapanmu (bagaimana pendapatmu) di negeri Yaman." Karena orang tersebut memang berasal dari Yaman.

Tatkala orang-orang Irak bertanya kepada beliau tentang darah nyamuk, apakah boleh membunuh nyamuk ataukah tidak, maka beliau menjawab: "Subhaanallah orang-orang Irak ini membunuh cucu Rasulullah, lalu mereka datang untuk bertanya tentang darah nyamuk?" Tidak diragukan lagi bahwa orang semacam ini hanyalah ingin berdebat saja.

[Syarh Hilyah Thaalibil 'Ilmi karya asy-Syaikh Muhammad bin Shalih al-'Utsaimin rahimahullah (Syarah Adab & Manfaat Menuntut Ilmu, Pustaka Imam asy-Syafi'i, 2005; hlm. 217-219]

Tuesday, June 12, 2007

One Phase Done, Initiating Next Phase

Kamis lalu adalah final exam terakhir untuk coursework saya. Lalu Sabtu lalu semua nilai keluah dan sungguh lega hati ini berhasil mencapai hasil yang ditargetkan. Alhamdulillahi Rabbil 'aalamiin.

Dengan demikian, delapan mata kuliah plus seminar (nonkredit) telah berlalu yang berarti tunai sudah coursework saya. Terima kasih banyak atas dukungan dari banyak pihak. Jazakumullahu khayran. Kini berlanjut ke tugas berikutnya yakni menyelesaikan tesis, dan beberapa pekerjaan lainnya.

Insya Allah musim panas ini akan coba dimanfaatkan untuk menyelesaikan sebagiannya. Tadinya saya berencana liburan ke Indonesia akhir Juli namun Ahad lalu ada informasi bahwa tiket pesawat mengalami kenaikan sekitar 25%. Duh, berat juga nih kalau segitu. Alhamdulillah kini ada teman orang Indonesia juga di flat yang tetap di sini selama musim panas.

Semoga dapat berlangsung lancar dengan hasil yang baik dan bermanfaat. Dukungan ikhwah sekalian senantiasa diharapkan. Barakallahu fiikum.

MAKNA DARUL ISLAM (NEGARA ISLAM)

Negara Islam, Sebuah Tujuan?

Oleh Muhammad 'Ali 'Ishmah Al-Medany
Buletin Al-Manhaj Edisi V/1419 H/1998 M (dengan sedikit koreksi format dan redaksional tanpa mengubah makna)

Dalam memahami makna Darul Islam (negara Islam) terjadi perselisihan di kalangan kelompok-kelompok yang ada sekarang. Maka kita memandang perlu kiranya kita membawakan makna negara Islam yang benar dalam kesempatan ini.

"Para ahli fiqih berselisih dalam kaitan hukum terhadap negara Islam yang mungkin dibawakan secara umum menjadi dua pendapat:

Pendapat pertama: Patokan untuk menghukum sebuah negara adalah dengan realitas hukum yang berlaku di negeri itu.

Pendapat kedua: Patokan hukum terhadap sebuah negara adalah dipandang dari sisi keamanan.

Keterangan dua pendapat ini sebagai berikut:

Penjelasan Pendapat pertama: Jumhur ahli fiqih berpendapat bahwa patokan hukum terhadap sebuah negara apakah dia negara Islam atau negara kufur adalah dengan realitas hukum­-hukum yang berlaku di negara itu. Dalam kitab Al Iqna' (dan syarhnya 3/43) didefinisikan tentang Darul Harb (negara kafir yang diperangi) adalah: "Bila hukum kafir yang lebih dominan di situ". Al Kisani (dalam Bada'i'ush Shanai' 7/ 130) berkata: "Tidak ada perselisiahan di kalangan para sahabat kami bahwa negara kufur akan menjadi negara Islam dengan realitas hukum-hukum Islam yang berlaku padanya". Ibnul Qayyim (dalam Ahkamu Ahlidz Dzimmah 1/366) berkata: "Negara Islam adalah tempat yang ditempati kaum muslimin dan berlaku hukum Islam padanya. Dan kalau tidak berlaku hukum Islam padanya, bukanlah sebagai negara Islam walau berdekatan dengan negara Islam."

Dan inilah pendapat jumhur ulama (Fatawa Hindiyyah 2/232, Ahkam Ahlidz Dzimmah 1/ 366). Walau mereka berselisih dalam tafsir "hukum-hukum yang berlaku di negara tersebut" , apakah sisi tindakan pemerintahnya atau rakyatnya, yakni syi'ar-syi'ar yang dhahir seperti shalat dan yang sejenisnya. Ini menurut dua sisi dari mereka dalam defenisinya:

Sisi pertama: yang dimaksud dengan berlakunya hukum-hukum tersebut adalah dari tindak tanduk pemerintah dalam kekuasaan politik, jika kekuasaan politik dipegang oleh kaum muslimin, maka negara itu disebut dengan Darul Islam. Kalau tidak, maka sebaliknya. Dan ini yang dipegangi oleh orang­orang Hanafi (Fatawa Hindiyyah 2/232). As Sarkhasi berkata: "Yang menjadi patokan penilaian terhadap sebuah negara adalah penguasa dan kekuatan untuk merealisasikan hukum-hukum negara." (Syarhus Siyar 5/1073) Ibnu Hazm menerangkan alasan ucapan ini dengan: "Karena sebuah negara disandarkan kepada yang menang, yang menjadi penguasa dan yang menjadi rajanya." (Al Muhalla 11/200, 2198)

Dan dengan inilah seluruh ulama yang hidup sekarang memberi fatwa, di antaranya: Syaikh Muhammad bin Ibrahim (Al Fatawa 6/ 166) , Syaikh Abdurrahman As Sa'di (Fatawa As Sa'diyyah hal.98) dan Syaikh Muhammad Rasyid Ridha (Fatawa Muhammad Rasyid Ridha 5/1918). Dan konsekuensi pendapat ini adalah:

"mungkin negara itu adalah negara Islam walau semua penduduknya orang kafir selama penguasanya masih or­ang Islam dan menghukum dengan hukum Islam."

Sisi kedua: Yang dilihat adalah patokan hukum terhadap negara adalah amalan penduduknya - syi'ar-syi'ar yang tampak di situ- maka jika hukum-hukum Islam seperti shalat tampak dengan jelas, maka negara itu disebut dengan negara Islam, kalau tidak, maka disebut dengan negara kafir. Dengan ini sebagian orang mazhab Hanafi menafsirkan hukum dengan ucapannya: Darul harb (negara yang harus diperangi) akan menjadi negara Islam dengan berlakunya hukum kaum muslimin di situ, seperti mendirikan shalat Jum'at dan Ied-ied, walau orang kafir asli ada di situ. " (Ad Duraarul Hikam 1/259) Sebagian para ahli fiqih berkata: "Darul Islam adalah yang tampak padanya dua kalimat syahadat dan shalat serta tidak tampak padanya bagian kekafiran... kecuali dengan perlindungan atau Ahli dzimmah dan keamanan dari kaum muslimin. Dan darul harb adalah yang kekuasaannya dipegang oleh orang kafir dan kaum muslimin tidak mendapatkan perlindungan." (Uyunul Azhar hal.228)

Dan yang tampak dari ucapan Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah adalah sesuai dengan pendapat ini yang mana beliau berkata: "Keadaan negara itu disebut dengan negara kufur, iman atau negara orang-orang fasiq bukanlah suatu sifat yang tetap melekat padanya. Tapi itu hanya sifat yang mendatang tergantung penduduknya. Maka setiap negara yang dihuni oleh kaum mukminin yang bertaqwa adalah negara para wali Allah pada waktu itu. Dan setiap negara yang dihuni oleh orang-orang kafir, maka dia adalah negeri kafir pada waktu itu. Dan setiap negeri yang dihuni oleh orang-orang fasiq, maka dia adalah negara orang fasiq pada waktu itu. Kalau penghuninya selain dari yang kita sebutkan tadi dengan berubah kepada yang lain, maka itu negeri mereka'(Majmu' Fatawa 18/282)

Penjelasan Pendapat kedua: sebagian Hanafiyah berpendapat bahwa kaitan hukum terhadap sebuah negara adalah faktor keamanan. Jika kaum muslimin aman di sebuah negeri, maka negeri itu adalah negeri Islam. Kalau tidak aman, maka negeri itu adalah negeri kafir. As Sarkhasi berkata: "Sesungguhnya negara Islam adalah nama untuk sebuah tempat yang berada di bawah kekuasaan kaum muslimin, tandanya adalah dengan amannya kaum muslimin." (Syarhus Siyar 3/81)

Kesimpulan:

Pendapat yang kuat - wallahu a'lam - adalah: "Sesungguhnya patokan penilaian syari'at Islam terhadap sebuah negara adalah realitas hukum yang berlaku di negara itu, karena hukum-hukum itulah yang membedakan antara negeri Islam atau kafir. Islam dan kekufuran masing-masingnya mempunyai cabang, yang masing­masing cabang itu mempunyai hukum tersendiri, maka apabila berkumpul dalam sebuah negeri kadar tertentu dari cabang­cabang Islam dan hukum-hukumnya, maka negeri itu adalah negeri Islam. Dan kalau tidak, maka tidak. Adapun keamanan, itu adalah faktor yang bersifat mendatang sebagai hasil dari hukum yang berlaku, maka dia adalah sifat yang tidak mempengaruhi penilaian terhadap sebuah negara (yakni penilaian apakah negara Islam atau tidak).

Hukum-hukum ini adalah kumpulan dari kondisi rakyat dan penguasa, maka tidak boleh dihukumi sebuah negara sebagai negara Islam atau negara kufur kecuali setelah melihat dua faktor (kondisi rakyat dan pengausa) ini. Bersamaan dengan itu juga mengikut sertakan kaidah-kaidah sebagai berikut:

a. Ketika dikatakan bahwa patokan penilaian terhadap sebuah negara (apakah negara Islam atau negara kufur) adalah realitas hukum Islam yang berlaku, maka bukannya yang dimaksudkan di sini ialah penerapan seluruh hukum Islam tersebut. Karena ini adalah hal yang jarang terjadi dalam sejarah kaum muslimin kecuali di masa Nabi dan para khulafa'ur rasyidin (khalifah-khalifah yang terbimbing). Kemudian secara perlahan hukum itu gugur satu demi satu. Maka tidak ada di suatu negeri atau masa kecuali hukum Islam selalu ada yang gugur.

b.Hukum-hukum yang menjadi patokan penilaian terhadap sebuah negara (apakah dia negaraa islam atau tidak) berbeda­beda tingkatannya. yang paling agung di antara hukum yang dijadikan penilaian itu adalah shalat. Dan memang shalat patokan yang paling agung dalam menilai kondisi penguasa, khususnya dalam menilai sebuah negara. Ini dinyatakan dalam beberaapa hadits:

a. Dari Abu Umamah Al Bahili bahwa Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda: "Akan lepas tali Islam seutas demi seutas, maka setiap kali terlepas seutas, diikuti oleh manusia. Dan yang pertama kali terlepas adalah hukum dan yang terakhir sekali adalah shalat." (HR. Ahmad 5251)

b. Hadits-hadits yang menyebutkan kebolehan untuk memberontak kepada para pengauasa adalah karena mereka meninggalkan shalat, karena dia (shalat) adalah batas akhir yang menyatakan seseorang itu sebagai muslim.

Dan juga bila tidak ada didengar suara adzan atau tidak didapati masjid, maka itu menjadi tanda bahwa negeri itu adalah negeri kufur. Dan bila didengar adzan dan ditemui masjid dan menjadi lambang negeri itu, maka negeri itu adalah negeri Islam.

Ini dikuatkan dengan beberapa hadits:

Pertama: Dari Anas bin Malik bahwa Rasulullah biasa menyerang musuh di waktu fajar akan terbit sambil mendengarkan dengan seksama suara adzan. Bila beliau mendengar adzan, beliau tidak menyerangnya dan bila tidak mendengarnya beliau menyerangnya." (HR Muslim 1/288)

Imam Nawawi berkata: "Dalam hadits ini ada dalil yang menunjukkan bahwa suara adzan bisa menahan serangan kepada para penduduknya, karena itu tanda kelslaman mereka." (Syarh Muslim 4/84)

Kedua: Dari Isham Al Muzani, ia berkata: Rasulullah bila mengirim pasukan mengatakan: "Bila kalian melihat masjid atau mendengar adzan jangan membunuh seorangpun." (HR. Abu Daud no. 2635 dan Turmudzi no. 1549 Hadits ini di-dha'ifkan Syaikh Al albani dalam Dha'if Sunan Abu Daud no.565)

Imam Asy Syaukani berkata: "Dalam hadits ini ada dalil....dibolehkannya berhukum dengan tanda dengan alasan bahwa nabi menyuruh untuk tidak menyerang hanya karena mendengar suara adzan." (Nailul Authar 7/278)

Dan beliau berkata lagi: "Dalam hadits ini mengandung perintah untuk mengambil yang paling selamat dalam masalah darah, karena beliau menahan mereka untuk menyerang dalam keadaan itu walau sebenarnya mungkin saja mereka tidak demikian." (Nailul Authar 7/278)

Dan beliau berkata juga: "Dan dalam hadits ini ada dalil bahwa semata mendapati masjid dalam sebuah negeri bisa dijadikan alasan untuk membatalkan penyerangan. Dan bisa menjadi tanda kelslaman penduduknya walau tidak ada didengar adzan di situ.

Karena Nabi memerintahkan pasukannya untuk menahan diri dengan sebab dua hal: adanya masjid dan suara adzan." (Nailul Authar 7/278)

Di sini ada dua titik perhatian:

Pertama: Berdalil dengan dua hadits ini bisa saja dibantah dengan: Tujuan hadits ini hanya untuk menerangkan tentang larangan menyerang sebuah negeri, bukan menerangkan tentang sifat negeri itu. Maka jawabannya: Hukum yang yang membuat negeri itu dilarang untuk diserang, adalah karena sifat negeri itu sendiri. Karena hukum yang membolehkan untuk menyerang penduduk negeri itu adalah karena negerinya negeri kufur. Imam Syafi'i berkata: "Hukum terhadap sebuah negeri adalah unsur yang membuat dia tidak boleh diserang." (Ar Risalah hal. 300)

Kedua: Ini juga bisa dibantah dengan banyak negeri kufur yang ada masjid di situ dan didengar adzan. Jawaban untuk itu adalah: Yang dimaksudkan adalah kalau masjid dan adzan menjadi lambang negara itu. Rasulullah melarang untuk menyerang karena mendengar suara adzan adalah berdasarkan karena beliau bergaul dengan kampung-kampung Arab yang semata mendengar suara adzan sudah cukup untuk menjadi tanda bahwa penduduknya Islam, karena kecilnya kampung dan sedikitnya penduduk. Maka berarti masalah ini adalah masalah yang nisbi, kadang-kadang satu masjid menjadi lambang kelslaman penduduknya. Dan kadang-kadang sepuluh masjid tidak menjadi lambang kelslaman penduduknya.

Misal yang memperjelas adalah:

Prancis, disana dibangun masjid, akan tetapi bukan sebagai lambang negara, maka negara itu adalah negara kufur.

Kaum muslimin di Maroko menegakkan syi'ar-syi'ar Islam dan menjadi lambang negaranya, maka negara itu adalah negara Islam.

Dengan ini menjadi jelas bahwa darul Islam adalah negeri yang hukum-hukum Islam direalisasikan di situ, khususnya shalat. Dan darul Kufr adalah: negeri yang di situ tidak diterapkan padanya lepas hukum-hukum Islam, khususnya shalat.

Dan bukan yang dimaksudkan dengan mendirikan shalat adalah hanya dilakukan segelintir orang, tetapi menjadi amalan penguasa., Nabi berkata: "Tidak boleh memerangi mereka (para pemimpin), selama mereka masih mendirikan shalat bersama kalian" dan " Tidak, selama mereka masih shalat." Ini adalah lafaz-lafaz yang walau dalam masalah khawarij, tapi ada hubungan antara masalah ini dengan masalah sifat negara. Yang mana adanya shalat dalam dua keadaan ini menyebabkan negara itu tidak boleh diserang." (Al Ghuluw fid Diin, Abdurrahman bin Mu'allah Al Luwaihiq hal.330-335) Wallahu A'lam.

Taubat Ahli Bid'ah

Dari Anas bin Malik radhiyallahu 'anhu berkata: Rasulullah Shallallahu 'Alayhi Wa Sallam bersabda:

"Sesungguhnya Allah menghalangi (atau beliau mengatakan : Allah menutup) taubat dari setiap ahli bid'ah."

(HR. Ibnu Abi 'Ashim; dishahihkan al-Albaniy)

Makna hadits berdasarkan nash-nash lainnya dan penjelasan para ulama adalah:

1.
Ahli bid’ah tidak mendapatkan taufiq untuk bertaubat dan tidak mendapat kemudahan untuk melakukannya, kecuali bagi yang Allah kehendaki.


2.
Allah Ta’ala akan mengampuni siapa pun yang berdosa bila dia bertaubat dengan ikhlas dan memenuhi syarat-syarat diterimanya taubat.


3.
Sedangkan dilihat dari hukum yang ditegakkan di dunia.

  • Bila si mubtadi’ itu tidak dikenal ber-taqiyah dalam beragama, maka bila dia bertaubat diterima taubatnya.
  • Bila dia dikenal ber-taqiyah dalam beragama, maka ditolak taubatnya menurut sebagian besar para ulama.
Wallahu A’lam Bis Shawab.

Diringkas dari:

http://www.ikhwan-interaktif.com/?pilih=news&aksi=lihat&id=599

Catatan: taqiyah adalah menyembunyikan yang di
yakini.

Nasihat Al-Imam Ibnul Qayyim rahimahullah mengenai kualitas penguasa

Allah 'Azza wa Jalla berfirman (yang artinya):

"Sesungguhnya Allah tidak mengubah keadaan sesuatu kaum sehingga mereka mengubah keadaan yang ada pada diri mereka sendiri." (QS. Ar-Ra'd 13:11)

Al-Imaam Ibnul Qayyim rahimahullah dalam Miftah Dar as-Sa'dah berkata:

"Renungilah Hikmah Allah Ta'ala, yang Ia telah menjadikan raja-raja, pemimpin- pemimpin dan pihak yang berkuasa atas manusia sebagaimana perbuatan manusia itu sendiri. Seakan-akan perbuatan mereka muncul dalam bentuk raja-raja dan pemimpin- pemimpin mereka.

Jika manusia berlaku lurus, maka raja-raja dan penguasa-penguasa mereka akan berlaku lurus, dan jika mereka berpaling, maka pemimpin- pemimpin mereka akan berbalik melawan mereka. Dan jika mereka menzhalimi dan menindas, maka raja-raja dan penguasa-penguasa mereka akan menindas dan menzhalimi mereka. Dan jika penipuan dan pengkhianatan terpendam di antara mereka, maka hal serupa muncul pada penguasa-penguasa mereka.

Jika manusia enggan memenuhi hak-hak Allah atas mereka dan menjadi kikir (dalam pemenuhan hak-hak itu), maka raja-raja dan penguasa-penguasa mereka akan menolak memberikan hak-hak mereka dan menjadi kikir (menahan hak-hak mereka). Dan jika mereka merampas dari pihak yang mereka zhalimi yang mereka tidak berhak atasnya, maka raja-raja akan merampas yang mereka tidak berhak atasnya dan akan memungut pajak dan memberikan tugas-tugas kepada mereka. Dan apa pun yang manusia ambil secara tidak adil dari yang terzhalimi, raja-raja mereka mengambil yang sama secara paksa dari mereka.

Maka mereka yang berkuasa atas manusia muncul dalam bentuk perbuatan-perbuatan mereka (yang dikuasai). Dan adalah Kebijaksanaan Ilahi bahwa mereka yang jahat dan buruk dikuasai oleh yang semacam mereka.

Dan karena generasi terdahulu adalah generasi terbaik dan paling bertakwa, penguasa-penguasa mereka memiliki martabat yang setara. Namun ketika manusia menjadi lemah, penguasa-penguasa mereka menjadi sesuai kedudukan mereka.

Sehingga tidaklah menyesuai Kebijaksanaan Allah pada masa ini (ARD: yakni masa Ibnul Qayyim, 691-751 H), bahwa penguasa-penguasa seperti Mu'awiyah radhiallahu 'anhu dan 'Umar bin 'Abdil 'Aziz rahimahullah, berkuasa atas kita, dan terlebih lagi yang seperti Abu Bakr dan 'Umar radhiallahu 'anhuma. Namun, para penguasa kita adalah sesuai dengan kedudukan dan martabat kita sendiri, dan mereka yang berkuasa atas mereka sebelum kita (juga) sesuai dengan kedudukan dan martabat mereka. Dan kedua perkara ini (status para penguasa dahulu dan masa kini) adalah sesuai yang digariskan oleh Kebijaksanaan(-Nya)."

*diambil dari artikel The Inverted Priorities susunan Dr. Shalih as-Shalih

http://www.understand-islam.net/pafiledb/index.php?act=view&id=72Nasihat Al-Imam Ibnul Qayyim rahimahullah mengenai kualitas penguasa

Thursday, May 17, 2007

Kembali ke Kampus

Alhamdulillah, pagi tadi sekitar pukul 03.15 am saya kembali di asrama setelah beberapa hari di 'Amman, Yordania. Ada pelbagai hal yang kami jumpai di sana yang secara ringkas diungkapkan oleh dosen saya (beliau orang Pakistan), "Saudia is the best." dan terus terang saya lega dapat kembali ke Arab Saudi setelah melalui beberapa special treatments dalam perjalanan.

Namun kami juga memiliki pengalaman yang sangat menyenangkan dan menyentuh. Ayah seorang teman menjamu kami dan mengantarkan kami ke Laut Mati padahal beliau dalam keadaan kurang sehat (ada tulang lunak dekat tumitnya yang patah). Sungguh luar biasa kebaikan beliau beserta keluarga. Jazahumullahu khayran.

Saturday, May 12, 2007

AICSSA 2007

Insya Allah pagi ini saya berangkat ke Amman, Yordania untuk mengikuti ACS/IEEE International Conference on Computer Systems and Applications, AICCSA ‘2007. Saya tidak tahu apakah di sana bisa memperoleh akses Internet yang mudah dan murah jadi mohon maaf jika selama beberapa hari ke depan saya tidak dapat online. Insya Allah kembali ke kampus Kamis pagi untuk kembali menjumpai tenggat tugas-tugas. Semester ini tinggal tiga pekan nih. Semoga semuanya berjalan lancar dan bermanfaat.

Tuesday, May 01, 2007

[Bantahan] 1 ons memang 100 gram

Ada artikel lama dan muncul lagi yang menyalahkan sistem satuan di Indonesia yang menyatakan 1 ons = 100 gram dan 1 pon = 500 gram. Masalahnya adalah artikel ini berasumsi bahwa ons dan pon diambil dari sistem satuan Inggris (Imperial System) yakni ounce dan pound. Padahal kedua satuan itu diambil dari sistem Belanda yang telah disesuaikan dengan Metric System.

Sistem satuan yang berlaku berbeda-beda dari satu negara ke negara lain. Semestinya kita paham sistem yang berlaku di Indonesia atau di mana pun kita tinggal. Bagi yang sudah menyebarkan artikel semacam itu harap segera mengklarifikasinya lagi.

Semoga bermanfaat.

http://www.unc.edu/~rowlett/units/dictO.html

ons

a Dutch unit of weight or mass, now used as a metric unit equal to the hectogram (100 grams, or about 3.5274 ounces).

http://www.unc.edu/~rowlett/units/dictP.html

pond [1]

the Dutch pound, historically about 494 grams ( 1.089 English pounds). This unit was also used in the former Dutch Indies (now Indonesia) and throughout Southeast Asia. In the Netherlands, the pond has been reinterpreted now as a metric unit equal to exactly 500 grams (1.1023 pounds), like the German pfund.

Lihat juga:

http://www.metricationmatters.com/docs/WhatIsMetrication.pdf

http://www.metricationmatters.com/docs/MetricationTimeline.pdf
http://www.enjoy-europe.com/hte/chap27/metric.htm

Friday, April 27, 2007

Di antara pengharapan dan rasa takut

Ada sebuah hadits yang dapat menjaga kita tetap optimis namun juga selalu waspada, menjaga keseimbangan antara pengharapan (raja') atas rahmat Allah Ta'ala dan rasa takut (khauf) akan 'adzab-Nya.

Dari Ibnu 'Abbas radhiyallahu 'anhuma, Rasulullah Shallallahu 'alayhi wa Sallam bersabda:

ما من عبد مؤمن إلا وله ذنب يعتاده الفينة بعد الفينة أو ذنب هو مقيم عليه لا يفارقه حتى يفارق الدنيا إن المؤمن خلق مفتنا توابا نساء ؛ إذا ذكر ذكر

"Tidaklah seorang hamba kecuali ia memiliki dosa yang berulang-ulang ia lakukan, dari waktu ke waktu, atau dosa yang terus ia lakukan - tidaklah meninggalkannya hingga ia meninggalkan dunia. Sesungguhnya seorang mu'min diciptakan muftannan, tawwaban, nassaa-an, ketika ia diingatkan, ia pun ingat." (HR. ath-Thabrani dalam Mu'jam al-Kabiir)

Muftannan = ia akan terus diuji
Tawwaban = ia akan terus bertaubat
Nassaa-an = ia akan terus lupa

Lihat penjelasannya di:

http://muslimmatters.org/2007/04/03/pearls-from-the-sunnah-1/

Semoga Allah Ta'ala menjadikan kita termasuk orang-orang yang terus bertaubat dan teringat ketika terlupa.