Tuesday, December 26, 2006

Mohon Pamit

Insya Allah siang ini ba'da Zhuhur saya berangkat ke Makkah untuk menunaikan ibadah haji. Oleh karena itu, saya akan nonaktif selama kira-kira 10 hari. Mohon do'anya agar dapat berlangsung lancar dan membuahkan manfaat.

Astawdi'ullah diinakum, wa amaanatakum, wa khawaatiima 'amalikum (Aku menitipkan agama kalian, amanat kalian dan perbuatan kalian yang terakhir kepada Allah)

Wassalaamu 'alaykum warahmatullahi wabarakaatuh

Sunday, December 24, 2006

Benarkah ada batu melayang yang disembunyikan Israel?

Sebelumnya, saya belum menjumpai riwayat shahih mengenai batu dalam peristiwa Isra' Mi'raj. Perlu ada dalil untuk menetapkan hal ini. Namun beberapa kali saya menerima e-mail mengenai batu melayang di Palestina yang katanya disembunyikan oleh Israel (lihat contoh e-mailnya di bawah, biasanya menyertakan foto di bawah ini).




Alhamdulillah baru saja bertemu dengan seorang teman dari Palestina dan saya menanyakan masalah batu ini. Kata dia bahwa TIDAK ADA batu melayang di Palestina. Ada pun batu yang dikatakan terkait peristiwa Isra Mi'raj ada di dalam Masjid Dome of the Rock (yang dalam Bahasa Arab adalah Masjid Qubbat as-Shakhrah, مسجد قبة الصخرة) di bawah kubahnya. Dia sudah melihat batu itu dan yakin bahwa batu itu TIDAK MELAYANG. Juga Masjid Umar berbeda dengan Masjid Dome of the Rock.

Jadi e-mail itu mengandung banyak kerancuan:
  • batu berada di luar padahal harusnya ada di dalam masjid
  • batu itu melayang padahal tidak
  • membedakan Masjid Dome of the Rock dengan Masjid Qubbat as-Shakhrah padahal sama (jika yang dimaksud Masjid Al Sakhra adalah Masjid Qubbat as-Sakhrah)
  • menyamakan antara Masjid 'Umar dengan Masjid Qubbat as-Shakhrah padahal berbeda

Jika ada yang mengatakan bahwa foto itu diambil sebelum batu itu dimasukkan ke Masjid Dome of the Rock maka ini kerancuan lebih parah. Masjid Qubbat as-Sakhrah dibangun oleh Khalifah Abdul Malik bin Marwan di akhir abad ke-7 M. Perhatikan pula bahwa kini sangat mudah untuk memanipulasi foto.

Sangat penting untuk berhati-hati dalam menyebarkan berita seperti ini. Alih-alih meningkatkan pengetahuan umat Islam, berita ini justru menyebarkan kerancuan sejarah.

Lihat juga:

http://thalib.blogspot.com/2007/03/tambahan-mengenai-batu-melayang-di.html

Allahu Ta'ala a'lam.

---------------------------------
Subhannallah. ..

Bukti kebesaran Allah SWT batu tempat duduk Nabi Muhammad SAW saat
Isra Mi'raj sampai kini masih tetap melayang di udara. Pada saat Nabi
Muhammad mau Mi'raj batu tsb ikut, tetapi Nabi SAW menghentakan
kakinya pada batu tsb, maksudnya agar batu tsb tak usah ikut.
Kisah Isra Mi'raj Nabi Muhammad SAW tentang batu gantung tsb yang
berada dalam masjid Umar (Dome of the Rock) di Lingkungan Masjidil
AQSHA di Yarusalem

ini foto dari teman saya sewaktu melawat Al Aqsa (yg sebenarnya) di
Jerusalem, Subhanallah ...
foto ini bisa lolos karena tidak diketahui oleh pihak israel yg
menjaga tempatnya dengan sangat ketat.

Sampai sekarang mesjid dome of rock ditutup untuk umum, dan Yahudi
membuat mesjid lain Al Sakhra tak jauh disebelahnya dengan kubah
"emas" (yg sering terlihat di poster2 yg disebarkan ke seluruh dunia
dimana2) dan disebut sebagai Al Aqsa, untuk mengelabui ummat islam
dimana mesjid Al Aqsa yang sebenarnya, yang Nabi Muhammad SAW pernah
sebutkan Al Aqsa sebagai "mesjid kubah biru".
Saat ini mesjid Al Aqsa yg sebenarnya sudah diambil alih oleh israel ,
dan rencananya mau dihancurkan untuk diganti sebagai temapat ibadah
mereka karena bersebelahan dengan tembok ratapan.
---------------------------------

Tambahan Mengenai Larangan Memotong Kuku dan Rambut bagi yang Hendak Berqurban

Dalam kajian yang saya ikuti ada beberapa tambahan penjelasan mengenai larangan memotong kuku dan rambut dari tanggal 1 Dzulhijjah hingga waktu menyembelih bagi yang hendak berqurban:
  • jama'ah haji yang ingin berqurban tidak terkena larangan ini karena mereka harus berihram pada tanggal 8 Dzulhijjah sedangkan di antara sunnah ihram adalah memotong kuku.
  • larangan tersebut hanya bagi orang yang membeli hewan sembelihan dengan niat untuk qurban walaupun qurban itu untuk orang lain. Jadi misalnya seorang selain untuk dirinya ia juga membeli beberapa hewan qurban untuk istri-istri dan anak-anaknya maka yang terkena larangan tersebut hanyalah si bapak, sedangkan istri dan anak-anaknya tidak.
Allahu Ta'ala a'lam.

Larangan Memotong Rambut dan Kuku

Barang siapa hendak berqurban, tidak diperbolehkan bagi dia memotong rambut dan kukunya sedikitpun, setelah masuk tanggal 1 Dzulhijjah hingga shalat Ied. Dalilnya:

Dari Ummu Salamah, bahwasanya Rasulullah shallallahu `alaihi wa sallam bersabda: "Apabila kalian melihat hilal bulan Dzulhijjah dan salah seorang di antara kalian hendak menyembelih (yakni berqurban), maka hendaknya dia menahan (yakni tidak memotong, pent) rambut dan kukunya." (HR. Muslim No. 1977).

Imam Nawawi berkata: "Maksud larangan tersebut adalah dilarang memotong kuku dengan gunting dan semacamnya, memotong rambut; baik gundul, memendekkan rambut,mencabutnya, membakarnya atau selain itu. Dan termasuk dalam hal ini, memotong bulu ketiak, kumis, kemaluan dan bulu lainnya yang ada di badan" (Syarah Muslim 13/138).

Berkata Ibnu Qudamah: "Siapa yang melanggar larangan tersebut hendaknya minta ampun kepada Allah dan tidak ada fidyah (tebusan) baginya, baik dilakukan sengaja atau lupa" (Al-Mughni11/96).

Dari keterangan di atas maka larangan tersebut menunjukkan haram. Demikian pendapat Said bin Musayyib, Rabiah, Ahmad, Ishaq, Daud dan sebagian Madzhab Syafiiyah. Dan hal itu dikuatkan oleh Imam Asy-Syaukani dalam Nailul Authar juz 5 hal. 112 dan Syaikh Ali Hasan dalam Ahkamul Iedain hal. 74).

Lengkapnya lihat:

http://www.salafy.or.id/print.php?id_artikel=495

Ada beberapa keterangan tambahan di sini.

The Chaos (1922) - Gerard Nolst Trenité (1870 - 1946)

Dearest creature in creation
Studying English pronunciation,
I will teach you in my verse
Sounds like corpse, corps, horse and worse.

I will keep you, Susy, busy,
Make your head with heat grow dizzy;
Tear in eye, your dress you'll tear;
Queer, fair seer, hear my prayer.

Pray, console your loving poet,
Make my coat look new, dear, sew it!
Just compare heart, hear and heard,
Dies and diet, lord and word.

Sword and sward, retain and Britain
(Mind the latter how it's written).
Made has not the sound of bade,
Say-said, pay-paid, laid but plaid.

Now I surely will not plague you
With such words as vague and ague,
But be careful how you speak,
Say: gush, bush, steak, streak, break, bleak ,

Previous, precious, fuchsia, via
Recipe, pipe, studding-sail, choir;
Woven, oven, how and low,
Script, receipt, shoe, poem, toe.

...

----------------------

Sebuah puisi yang memuat sekitar 800 ketakteraturan dalam pengucapan Bahasa Inggris. Lengkapnya lihat di:

http://ncf.idallen.com/english.html


Zhahran atau Dhahran?

Saat ini saya studi di kota Dhahran, Arab Saudi. Awalnya saya mengira bahwa nama kota ini dalam tulisan Arab adalah ضهران namun ketika tiba di sini ternyata tulisannya adalah الظهران. Dalam gaya transliterasi yang umum digunakan di Indonesia tulisan itu akan dituliskan menjadi az-Zhahran namun karena transliterasi di sini lebih mengikuti ke pelafalan Bahasa Inggris maka jadilah Dhahran. Entah kenapa Alif Lam di awal tidak disertakan padahal untuk beberapa kota lain menyertakannya seperti Al Khobar (الخبر). Ta' marbuthah di akhir juga sering dihilangkan misalnya Hamza (حمزة) bukan Hamzah.

Perbedaan ini menimbulkan kebingungan dalam pelafalan. Banyak teman-teman orang Indonesia yang melafalkannya dengan Dahran. Ketika menulis saya juga harus membiasakan menulis "Insha Allah" ketimbang "Insya Allah".

Transliterasi memang tidak mudah karena tidak baku. Saya rasa salah satu alasan utamanya adalah perbedaan pelafalan yang digunakan berbagai bahasa. Bahasa Arab yang baku terkenal dengan "Dhad" (ض)-nya namun tidak memiliki bunyi "v" dan "c". Orang Indonesia punya "f" dan "v" namun kesulitan membedakannya. Orang-orang India dan Pakistan kesulitan membedakan bunyi "v" dan "w".

Selain pengungkapan suara kita juga memiliki perbedaan alfabet. Tempo dulu banyak dari bangsa kita yang menggunakan tulisan Arab walaupun untuk Bahasa Melayu atau selainnya. Mungkin pengaruh kolonialisme menjadikan tulisan Latin menjadi yang kita gunakan sehari-hari. Namun kompatibilitas huruf tidak menjamin kompatibilitas bunyi. Banyak teman-teman dari India dan Pakistan kesulitan membedakan bunyi Dhad (ض) dan Zha (ظ) sehingga nama Ridha (رضا) mungkin akan dilafalkan Riza.

Selain itu juga kurangnya standarisasi dalam transliterasi. Saya menjumpai beberapa keanehan misalnya kota al-Qashim (القصيم) dituliskan al-Gassim atau nama keluarga al-Qahthani (القحطان) dituliskan al-Gahtani. Juga saya baru tahu bahwa Sharjah, salah satu emirat di Uni Emirat Arab, kalau dari teks Arabnya (الشارقة) ditransliterasi dengan "gaya Indonesia" harusnya jadi asy-Syariqah. Nama saya juga sering disalahtuliskan menjadi Ahmed.

Satu masalah besar lagi adalah pembedaan panjang pendek. Wah, ini panjang lagi ceritanya.

Alternatifnya mungkin menggunakan International Phonetic Alphabet tapi tidak mudah juga mempelajarinya. Solusi yang lebih bermanfaat dalam konteks tulisan Arab ya belajar Bahasa Arab. Sedih juga kalau orang Islam tidak bisa Bahasa Arab. Teman-teman di sini banyak bingung dan bertanya "Kamu baca al-Qur'an kan?" (dengan asumsi baca pasti mengerti). Mereka baru mengerti ketika saya jelaskan bahwa di Indonesia banyak yang bisa baca al-Qur'an bahkan dengan sangat indah namun tidak paham yang dibacanya (alias kudu baca terjemahan).

رَبِّ زِدْنِي عِلْمًا

Ikhwan dan Akhwat

Istilah "ikhwan" dan "akhwat" sering digunakan untuk merujuk seseorang yang suka ikut kajian Islam. Apakah artinya dan bagaimana penggunaannya?

Dalam Bahasa Arab "ikhwan" adalah bentuk jamak dari "akh" yang berarti saudara laki-laki sedangkan "akhwat" adalah bentuk jamak dari "ukht" yang berarti saudara perempuan.

Tidak tepat jika dianggap kedua ungkapan ini hanya untuk mereka yang suka ikut kajian Islam. Karena kedua ungkapan tersebut selayaknya digunakan untuk setiap muslim dan muslimah sesuai dengan firman Allah Subhanahu wa Ta'ala (yang artinya):

"Sesungguhnya orang-orang mukmin adalah bersaudara karena itu damaikanlah antara kedua saudaramu dan bertakwalah kepada Allah supaya kamu mendapat rahmat." (QS. al-Hujuraat 49:10)

Ikatan persaudaraan di atas Islam lebih kuat daripada ikatan darah. Dengan ikatan persaudaraan itu kita saling mengajak kepada kebaikan dan menjauhkan dari keburukan. Sikap lemah lembut atau tegas terhadap sesama muslim dilandasi atas cinta dan kasih sayang karena sepatutnya kita cinta kepada keimanan dan benci kepada kekafiran.

Allah 'Azza wa Jalla berfirman (yang artinya):

"Dan ketahuilah olehmu bahwa di kalangan kamu ada Rasulullah. Kalau ia menuruti (kemauan) kamu dalam beberapa urusan benar-benarlah kamu akan mendapat kesusahan tetapi Allah menjadikan kamu cinta kepada keimanan dan menjadikan iman itu indah dalam hatimu serta menjadikan kamu benci kepada kekafiran, kefasikan dan kedurhakaan. Mereka itulah orang-orang yang mengikuti jalan yang lurus," (QS. al-Hujuraat 49:7)

Allahu Ta'ala a'lam.

Semoga Allah mengganjarmu dengan kebaikan

Terkadang kita mendengar ungkapan "Jazakallahu khayran" yang mungkin masih agak aneh di Indonesia. Apakah artinya? Apakah ini ungkapan eksklusif di kalangan tertentu atau bagaimana?

"Jazakallahu khayran" adalah dari Bahasa Arab جزاك الله خيرا yang artinya "semoga Allah mengganjarmu dengan kebaikan"; di sini untuk orang kedua laki-laki tunggal. Sedangkan untuk orang kedua perempuan tunggal menjadi "Jazakillahu khayran", orang kedua jamak (>=3) "Jazakumullahu khayran") dan seterusnya. Untuk amannya bisa digunakan bentuk untuk orang kedua jamak sebagaimana yang kita gunakan dalam memberi salam "Assalaamu 'alaykum" juga dalam bentuk untuk orang kedua jamak. Ungkapan ini dapat dijawab dengan ungkapan "Wa iyyak" (bagimu juga).

Penggunaan ucapan ini bukanlah eksklusif untuk kalangan tertentu atau sekadar gaya-gayaan Bahasa Arab namun memang ada landasannya dalam Islam.

Rasulullah Shallallahu 'alayhi wa Sallam bersabda:

"من صنع إليه معروف فقال لفاعله جزاك الله خيرا فقد أبلغ في الثناء"

"Barangsiapa memperoleh kebaikan dari seseorang dan mengucapkan Jazakallahu khayran kepadanya maka ia telah melebihkan pujian." (HR. at-Tirmidzi; dia berkata: hadits ini hasan jayyid gharib, dishahihkan al-Albani)

Dalam sebuah hadits riwayat al-Bukhari, Usaid bin Hudhair radhiyallahu 'anhu mengucapkan Jazakillahu khayran kepada 'Aisyah radhiyallahu 'anha karena Allah Ta'ala menurunkan ayat tayammum yang memberikan kemudahan ketika 'Aisyah kehilangan kalungnya sehingga rombongan tertahan hingga waktu shalat datang padahal mereka tidak memiliki air untuk bersuci.

Dengan demikian sepatutnya sebagai muslim kita menggunakan ungkapan ini sebagai ungkapan terima kasih karena berbeda dengan ungkapan "terima kasih" ungkapan ini juga berperan sebagai doa bagi saudara kita sesama muslim. Jadi seperti kita menggunakan "Assalaamu 'alaykum" ketimbang "Selamat pagi" atau semacamnya.

Perhatian: sebagian orang hanya mengatakan "Jazakallah"; ungkapan ini tidak lengkap karena tidak jelas apa ganjaran Alah yang dimintanya. Juga ada yang menggunakan "Jazakallahu khayr". Kalau tidak salah, secara bahasa ini kurang tepat; yang lebih tepat adalah "Jazakallahu khayran" atau "Jazakallahu khayra".

Allahu Ta'ala a'lam.

Bukan kefakiran (kemiskinan) yang aku khawatirkan ...

Rasulullah Shallallahu 'alayhi wa Sallam bersabda (yang artinya):

"Demi Allah, bukan kefakiran (kemiskinan) yang aku khawatirkan atas kamu tetapi yang kukhawatirkan atas kamu ialah apabila dunia ini dibentangkan (dilapangkan) untuk kamu sebagaimana dilapangkan untuk orang-orang sebelum kamu, lantas kamu berlomba-lomba memperebutkannya, lantas kamu binasa karenanya sebagaimana mereka binasa karenanya." (HR. al-Bukhari dan Muslim)

Hendaklah manusia lebih khawatir akan ancaman kesyirikan yang dapat merasuk dalam hatinya melalui berbagai sisi. Kemiskinan di atas tauhid membawa kebahagiaan di akhirat sedangkan kekayaan di atas kesyirikan membawa kebinasaan di akhirat.

Sedangkan ungkapan "Kefakiran mendekatkan kepada kekufuran" bukanlah hadits yang sah dari Rasulullah Shallallahu 'alayhi wa Sallam. Tidak asing bagi kita bahwa banyak di antara para shahabat yang miskin, atau jatuh miskin, namun mereka tetap kokoh di atas tauhid.

Allah Tabaraka wa Ta'ala berfirman (yang artinya):

"(Juga) bagi para fakir yang berhijrah yang diusir dari kampung halaman dan dari harta benda mereka (karena) mencari karunia dari Allah dan keridhaan (Nya) dan mereka menolong Allah dan Rasul-Nya. Mereka itulah orang-orang yang benar." (QS. al-Hasyr 59:8)

Allahu Ta'ala a'lam.

Berhati-hatilah dalam menyebarkan berita

Rasulullah Shallallahu 'alayhi wa Sallam bersabda:

كَفَى بِالْمَرْءِ كَذِبًا أَنْ يُحَدِّثَ بِكُلِّ مَا سَمِعَ

"Cukuplah bagi seseorang kedustaan jika ia menceritakan semua yang didengarnya." (HR. Muslim dalam Muqaddimah Shahih-nya)

Kabar yang diterima seseorang dapat benar dan dapat juga dusta sehingga seseorang yang menyebarkan segala yang didengarnya tanpa berupaya memeriksa kebenarannya telah turut serta dalam menyebarkan kedustaan.

Di masa ini ada begitu banyak jalur-jalur komunikasi yang dapat bermanfaat namun juga dapat menjadi corong-corong baru kedustaan. Kabar bohong yang tadinya menyebar melalui selebaran kini dapat lebih cepat menyebar melalui e-mail dan SMS. Hoax bermunculan padahal seringkali cukup mudah untuk memeriksanya. Ini semua takjarang dijustifikasi dengan niat baik namun niat baik dan ikhlash tidaklah cukup karena harus diiringi dengan cara yang baik pula. Ingatlah pesan Rasulullah tersebut.

Semoga Allah Ta'ala menjauhkan kita dari kedustaan.

PRINSIP PRINSIP MENGKAJI AGAMA

Penulis: Al-Ustadz Qomar Suaidi

Menuntut ilmu agama tidak cukup bermodal semangat saja. Harus tahu pula rambu-rambu yang telah digariskan syariat. Tujuannya agar tidak bingung menghadapi seruan dari banyak kelompok dakwah. Dan yang paling penting, tidak terjatuh kepada pemahaman yang menyimpang!

Dewasa ini banyak sekali ‘jalan’ yang ditawarkan untuk mempelajari dienul Islam. Masing-masing pihak sudah pasti mengklaim jalannya sebagai yang terbaik dan benar. Melalui berbagai cara mereka berusaha meraih pengikut sebanyak-banyaknya. Lihatlah sekeliling kita. Ada yang menawarkan jalan dengan memenej qalbunya, ada yang mengajak untuk ikut hura-huranya politik, ada yang menyeru umat untuk segera mendirikan Khilafah Islamiyah, ada pula yang berkelana dari daerah satu ke daerah lain mengajak manusia ramai-ramai ke masjid.

Namun lihat pula sekeliling kita. Kondisi umat Islam masih begini-begini saja. Kebodohan dan ketidakberdayaan masih menyelimuti. Bahkan sepertinya makin bertambah parah.
Adakah yang salah dari tindakan mereka? Ya, bila melihat kondisi umat yang semakin jatuh dalam kegelapan, sudah pasti ada yang salah. Mengapa mereka tidak mengajak umat untuk kembali mempelajari agamanya saja? Mengapa mereka justru menyibukkan umat dengan sesuatu yang berujung kesia-siaan?

Ahlussunnah wal Jama’ah sebagai pewaris Nabi selalu berusaha mengamalkan apa yang diwasiatkan Rasulullah untuk mengajak umat kembali mempelajari agamanya. Dalam berbagai hal, Ahlussunnah tidak akan pernah keluar dari jalan yang telah digariskan oleh Nabi
Shallallahu 'alayhi wa Sallam. Lebih-lebih dalam mengambil dan memahami agama di mana hal itu merupakan sesuatu yang sangat asasi pada kehidupan. Inilah yang sebenarnya sangat dibutuhkan umat.

Berikut kami akan menguraikan manhaj Ahlussunnah wal Jama’ah dalam mengkaji agama, namun kami hanya akan menyebutkan hal-hal yang sangat pokok dan mendesak untuk diungkapkan. Tidak mungkin kita menyebut semuanya karena banyaknya sementara ruang yang ada terbatas.

Makna Manhaj

Manhaj dalam bahasa Arab adalah sebuah jalan terang yang ditempuh. Sebagaimana dalam firman Allah:

“Dan kami jadikan untuk masing-masing kalian syariat dan minhaj.” (Al-Maidah: 48)

Kata minhaj , sama dengan kata manhaj . Kata minhaj dalam ayat tersebut diterangkan oleh Imam ahli tafsir Ibnu Abbas, maknanya adalah sunnah. Sedang sunnah artinya jalan yang ditempuh dan sangat terang. Demikian pula Ibnu Katsir menjelaskan (lihat Tafsir Ibnu Katsir 2/67-68 dan Mu’jamul Wasith).

Yang diinginkan dengan pembahasan ini adalah untuk menjelaskan jalan yang ditempuh Ahlussunnah dalam mendapatkan ilmu agama. Dengan jalan itulah, insya Allah kita akan selamat dari berbagai kesalahan atau kerancuan dalam mendapatkan ilmu agama. Inilah rambu-rambu yang harus dipegang dalam mencari ilmu agama:

1. Mengambil ilmu agama dari sumber aslinya yaitu Al Qur’an dan As Sunnah. Allah Ta'ala berfirman:

“Ikutilah apa yang diturunkan kepada kalian dari Rabb kalian dan jangan kalian mengikuti para pimpinan selain-Nya. Sedikit sekali kalian mengambil pelajaran darinya.” (Al-A’raf: 3)

Dan Rasulullah Shallallahu 'alayhi wa Sallam bersabda:

Ketahuilah bahwasanya aku diberi Al Qur’an dan yang serupa dengannya bersamanya.” (Shahih, HR. Ahmad dan Abu Dawud dari Miqdam bin Ma’di Karib. Lihat Shahihul Jami’ N0. 2643)

2. Memahami Al Qur’an dan As Sunnah sesuai dengan pemahaman salafus shalih yakni para sahabat dan yang mengikuti mereka dari kalangan tabi’in dan tabi’ut tabi’in. Sebagaimana sabda Nabi Shallallahu 'alayhi wa Sallam:

“Sebaik-baik manusia adalah generasiku kemudian yang setelah mereka kemudian yang setelah mereka.” (Shahih, HR. Al-Bukhari dan Muslim)

Kebaikan yang berada pada mereka adalah kebaikan yang mencakup segala hal yang berkaitan dengan agama, baik ilmu, pemahaman, pengamalan dan dakwah.

Ibnul Qayyim berkata: “Nabi mengabarkan bahwa sebaik-baik generasi adalah generasinya secara mutlak. Itu berarti bahwa merekalah yang paling utama dalam segala pintu-pintu kebaikan. Kalau tidak demikian, yakni mereka baik dalam sebagian sisi saja maka mereka bukan sebaik-baik generasi secara mutlak.” (lihat Bashair Dzawis Syaraf: 62)

Dengan demikian, pemahaman mereka terhadap agama ini sudah dijamin oleh Nabi. Sehingga, kita tidak meragukannya lagi bahwa kebenaran itu pasti bersama mereka dan itu sangat wajar karena mereka adalah orang yang paling tahu setelah Nabi. Mereka menyaksikan di mana dan kapan turunnya wahyu dan mereka tahu di saat apa Nabi
Shallallahu 'alayhi wa Sallam mengucapkan hadits. Keadaan yang semacam ini tentu sangat mendukung terhadap pemahaman agama. Oleh karenanya, para ulama mengatakan bahwa ketika para shahabat bersepakat terhadap sesuatu, kita tidak boleh menyelisihi mereka. Dan tatkala mereka berselisih, maka tidak boleh kita keluar dari perselisihan mereka. Artinya kita harus memilih salah satu dari pendapat mereka dan tidak boleh membuat pendapat baru di luar pendapat mereka.

Imam Syafi’i mengatakan: “Mereka (para shahabat) di atas kita dalam segala ilmu, ijtihad, wara’ (sikap hati-hati), akal dan pada perkara yang mendatangkan ilmu atau diambil darinya ilmu. Pendapat mereka lebih terpuji dan lebih utama buat kita dari pendapat kita sendiri -wallahu a’lam- … Demikian kami katakan. Jika mereka bersepakat, kami mengambil kesepakatan mereka. Jika seorang dari mereka memiliki sebuah pendapat yang tidak diselisihi yang lain maka kita mengambil pendapatnya dan jika mereka berbeda pendapat maka kami mengambil sebagian pendapat mereka. Kami tidak akan keluar dari pendapat mereka secara keseluruhan.” (Al-Madkhal Ilas Sunan Al-Kubra: 110 dari Intishar li Ahlil Hadits: 78].

Begitu pula Muhammad bin Al Hasan mengatakan: “Ilmu itu empat macam, pertama apa yang terdapat dalam kitab Allah atau yang serupa dengannya, kedua apa yang terdapat dalam Sunnah Rasulullah atau yang semacamnya, ketiga apa yang disepakati oleh para shahabat Nabi atau yang serupa dengannya dan jika mereka berselisih padanya, kita tidak boleh keluar dari perselisihan mereka …, keempat apa yang diangap baik oleh para ahli fikih atau yang serupa dengannya. Ilmu itu tidak keluar dari empat macam ini.” (Intishar li Ahlil Hadits: 31)

Oleh karenanya Ibnu Taimiyyah berkata: “Setiap pendapat yang dikatakan hanya oleh seseorang yang hidup di masa ini dan tidak pernah dikatakan oleh seorangpun yang terdahulu, maka itu salah.” Imam Ahmad mengatakan: “Jangan sampai engkau mengeluarkan sebuah pendapat dalam sebuah masalah yang engkau tidak punya pendahulu padanya.” (Majmu’ Fatawa: 21/291)

Hal itu -wallahu a’lam- karena Nabi bersabda:

“Sesungguhnya Allah melindungi umatku untuk berkumpul di atas kesesatan.” (Hasan, HR Abu Dawud no:4253, Ibnu Majah:395, dan Ibnu Abi Ashim dari Ka’b bin Ashim no:82, 83 dihasankan oleh As Syaikh al Albani dalam Silsilah As- Shahihah:1331]

Jadi tidak mungkin dalam sebuah perkara agama yang diperselisihkan oleh mereka, semua pendapat adalah salah. Karena jika demikian berarti mereka telah berkumpul di atas kesalahan. Karenanya pasti kebenaran itu ada pada salah satu pendapat mereka, sehingga kita tidak boleh keluar dari pendapat mereka. Kalau kita keluar dari pendapat mereka, maka dipastikan salah sebagaimana dijelaskan oleh Ibnu Taimiyyah di atas.

3. Tidak melakukan taqlid atau ta’ashshub (fanatik) madzhab. Allah berfirman:

“Ikutilah apa yang diturunkan kepadamu dari Tuhanmu dan janganlah kamu mengikuti pemimpin-pemimpin selain-Nya. Amat sedikitlah kamu mengambil pelajaran (darinya).” (Al-A’raf: 3)

“Dan apa yang diberikan Rasul kepadamu maka terimalah. Dan apa yang dilarangnya bagimu maka tinggalkanlah. Bertakwalah kepada Allah. Sesungguhnya Allah sangat keras hukuman-Nya.” (Al-Hasyr: 7)

Dengan jelas ayat di atas menganjurkan untuk mengikuti apa yang diturunkan Allah baik berupa Al Qur’an atau hadits. Maka ucapan siapapun yang tidak sesuai dengan keduanya berarti harus ditinggalkan. Imam Syafi’i mengatakan: “Kaum muslimin bersepakat bahwa siapapun yang telah jelas baginya Sunnah Nabi maka dia tidak boleh berpaling darinya kepada ucapan seseorang, siapapun dia.” (Sifat Shalat Nabi: 50)

Demikian pula kebenaran itu tidak terbatas pada pendapat salah satu dari Imam madzhab yang empat. Selain mereka, masih banyak ulama yang lain, baik yang sezaman atau yang lebih dulu dari mereka. Ibnu Taimiyah mengatakan: “Sesungguhnya tidak seorangpun dari ahlussunnah mengatakan bahwa kesepakatan empat Imam itu adalah hujjah yang tidak mungkin salah. Dan tidak seorangpun dari mereka mengatakan bahwa kebenaran itu terbatas padanya dan bahwa yang keluar darinya berarti batil. Bahkan jika seorang yang bukan dari pengikut Imam-imam itu seperti Sufyan Ats Tsauri, Al Auza’i, Al Laits bin Sa’ad dan yang sebelum mereka atau Ahlul Ijtihadyang setelah mereka mengatakan sebuah pendapat yang menyelisihi pendapat Imam-imam itu, maka perselisihan mereka dikembalikan kepada Allah Ta'ala dan Rasul-Nya, dan pendapat yang paling kuat adalah yang berada di atas dalil.” (Minhajus Sunnah: 3/412 dari Al Iqna’: 95).

Sebaliknya, ta’ashshub (fanatik) pada madzhab akan menghalangi seseorang untuk sampai kepada kebenaran. Tak heran kalau sampai ada dari kalangan ulama madzhab mengatakan: “Setiap hadits yang menyelisihi madzhab kami maka itu mansukh (terhapus hukumnya) atau harus ditakwilkan (yakni diarahkan kepada makna yang lain).

Akhirnya madzhablah yang menjadi ukuran kebenaran bukan ayat atau hadits. Bahkan ta’ashub semacam itu membuat kesan jelek terhadap agama Islam sehingga menghalangi masuk Islamnya seseorang sebagaimana terjadi di Tokyo ketika beberapa orang ingin masuk Islam dan ditunjukkan kepada orang-orang India maka mereka menyarankan untuk memilih madzhab Hanafi. Ketika datang kepada orang-orang Jawa atau Indonesia mereka menyarankan untuk memilih madzhab Syafi’i. Mendengar jawaban-jawaban itu mereka sangat keheranan dan bingung sehingga sempat menghambat dari jalan Islam [Lihat Muqaddimah Sifat Shalat Nabi hal: 68 edisi bahasa Arab)

4. Waspada dari para da’i jahat. Jahat yang dimaksud bukan dari sisi kriminal tapi lebih khusus adalah dari tinjauan keagamaan. Artinya mereka yang membawa ajaran-ajaran yang menyimpang dari aqidah Ahlussunnah wal Jama’ah, sedikit atau banyak. Di antara ciri-ciri mereka adalah yang suka berdalil dengan ayat-ayat yang belum begitu jelas maknanya untuk bisa mereka tafsirkan semau mereka. Dengan itu mereka maksudkan menebar fitnah yakni menyesatkan para pengikutnya. Allah berfirman:

“Adapun yang dalam hatinya terdapat penyelewengan (dari kebenaran) maka mereka mengikuti apa yang belum jelas dari ayat-ayat itu, (mereka) inginkan dengannya fitnah dan ingin mentakwilkannya. Padahal tidak ada yang mengetahui takwilnya kecuali Allah.” (Ali-Imran: 7)

Ibnu Katsir mengatakan: “Menginginkan fitnah artinya ingin menyesatkan para pengikutnya dengan mengesankan bahwa mereka berhujjah dengan Al Qur’an untuk (membela) bid’ah mereka padahal Al Qur’an itu sendiri menyelisihinya. Ingin mentakwilkannya artinya menyelewengkan maknanya sesuai dengan apa yang mereka inginkan.” (Tafsir Ibnu Katsir: 1/353]

5. Memilih guru yang dikenal berpegang teguh kepada Sunnah Nabi dalam berakidah, beribadah, berakhlak dan mu’amalah. Hal itu karena urusan ilmu adalah urusan agama sehingga tidak bisa seseorang sembarangan atau asal comot dalam mengambilnya tanpa peduli dari siapa dia dapatkan karena ini akan berakibat fatal sampai di akhirat kelak. Maka ia harus tahu siapa yang akan ia ambil ilmu agamanya.

Jangan sampai dia ambil agamanya dari orang yang memusuhi Sunnah atau memusuhi Ahlussunnah atau tidak pernah diketahui belajar akidah yang benar karena selama ini yang dipelajari adalah akidah-akidah yang salah atau mendapat ilmu hanya sekedar hasil bacaan tanpa bimbingan para ulama Ahlussunnah. Sangat dikhawatirkan, ia memiliki pemahaman-pemahaman yang salah karena hal tersebut.

Seorang tabi’in bernama Muhammad bin Sirin mengatakan: “Sesungguhnya ilmu ini adalah agama maka lihatlah dari siapa kalian mengambil agama kalian.” Beliau juga berkata: Dahulu orang-orang tidak bertanya tentang sanad (rangkaian para rawi yang meriwayatkan) hadits, maka tatkala terjadi fitnah mereka mengatakan: sebutkan kepada kami sanad kalian, sehingga mereka melihat kepada Ahlussunnah lalu mereka menerima haditsnya dan melihat kepada ahlul bid’ah lalu menolak haditsnya.” (Riwayat Muslim dalam Muqaddimah Shahih-nya)

Nabi
Shallallahu 'alayhi wa Sallam bersabda:

Keberkahan itu berada pada orang-orang besar kalian.” (Shahih, HR. Ibnu Hibban, Al Hakim, Ibnu Abdil Bar dari Ibnu Abbas, dalam kitab Jami’ Bayanul Ilm hal:614 dengan tahqiq Abul Asybal, dishahihkan oleh Syaikh Al Albani dalam Shahihul Jami’:2887 dan As Shahihah:1778)

Dalam ucapan Abdullah bin Mas’ud:

Manusia tetap akan baik selama mereka mengambil ilmu dari orang-orang besar mereka, jika mereka mengambilnya dari orang-orang kecil dan jahat di antara mereka, maka mereka akan binasa. Diriwayatkan pula yang semakna dengannya dari shahabat Umar bin Khattab. (Riwayat Ibnu Abdil Bar dalam Jami’ Bayanul Ilm hal: 615 dan 616, tahqiq Abul Asybal dan dishahihkan olehnya)

Ibnu Abdil Bar menukilkan dari sebagian ahlul ilmi (ulama) maksud dari hadits di atas: Bahwa yang dimaksud dengan orang-orang kecil dalam hadits Umar dan hadits-hadits yang semakna dengannya adalah orang yang dimintai fatwa padahal tidak punya ilmu. Dan orang yang besar artinya yang berilmu tentang segala hal. Atau yang mengambil ilmu dari para shahabat.” (Lihat Jami’ Bayanil Ilm: 617).

6. Tidak mengambil ilmu dari sisi akal atau rasio, karena agama ini adalah wahyu dan bukan hasil penemuan akal. Allah berkata kepada Nabi-Nya:

Katakanlah (Ya, Muhammad): ‘sesungguhnya aku memberi peringataan kepada kalian dengan wahyu.’.” (Al-Anbiya: 45)

Dan tidaklah yang diucapkan itu (Al Qur’an) menurut kemauan hawa nafsunya. Ucapannya itu tiada lain hanyalah wahyu yang diwahyukan (kepadanya).” (An-Najm: 3-4)

Sungguh berbeda antara wahyu yang bersumber dari Allah Dzat yang Maha Sempurna yang sudah pasti wahyu tersebut memiliki kesempurnaan, dibanding akal yang berasal dari manusia yang bersifat lemah dan yang dihasilkannya pun lemah.

Jadi tidak boleh bagi siapapun meninggalkan dalil yang jelas dari Al Qur’an ataupun hadits yang shahih karena tidak sesuai dengan akalnya. Seseorang harus menundukkan akalnya di hadapan keduanya.

Ali bin Abi Thalib berkata: “Seandainya agama ini dengan akal maka tentunya bagian bawah khuf (semacam kaos kaki yang terbuat dari kulit) lebih utama untuk diusap (pada saat berwudhu-red) daripada bagian atasnya. Dan sungguh aku melihat Rasulullah mengusap bagian atas khuf-nya.” (shahih, HR Abu Dawud dishahihkan As-Syaikh Al Albani dalam Shahih Sunan Abu Dawud no:162).

Pada ucapan beliau ada keterangan bahwa dibolehkan seseorang mengusap bagian atas khuf-nya atau kaos kaki atau sepatunya ketika berwudhu dan tidak perlu mencopotnya jika terpenuhi syaratnya sebagaimana tersebut dalam buku-buku fikih. Yang jadi bahasan kita disini adalah ternyata yang diusap justru bagian atasnya, bukan bagian bawahnya. Padahal secara akal yang lebih berhak diusap adalah bagian bawahnya karena itulah yang kotor.

Ini menunjukkan bahwa agama ini murni dari wahyu dan kita yakin tidak akan bertentangan dengan akal yang sehat dan fitrah yang selamat. Masalahnya, terkadang akal tidak memahami hikmahnya, seperti dalam masalah ini. Bisa jadi syariat melihat dari pertimbangan lain yang belum kita mengerti.

Jangan sampai ketidakmengertian kita menjadikan kita menolak hadits yang shahih atau ayat Al Qur’an yang datang dari Allah yang pasti membawa kebaikan pada makhluk-Nya. Hendaknya kita mencontoh sikap Ali bin Abi Thalib di atas.

Abul Mudhaffar As Sam’ani menerangkan Akidah Ahlussunnah, katanya: “Adapun para pengikut kebenaran mereka menjadikan Kitab dan Sunnah sebagai panutan mereka, mencari agama dari keduanya. Adapun apa yang terbetik dalam akal dan benak, mereka hadapkan kepada Kitab dan Sunnah. Kalau mereka dapati sesuai dengan keduanya mereka terima dan bersyukur kepada Allah yang telah memperlihatkan hal itu dan memberi mereka taufik. Tapi kalau mereka dapati tidak sesuai dengan keduanya mereka meninggalkannya dan mengambil Kitab dan Sunnah lalu menuduh salah terhadap akal mereka. Karena sesungguhnya keduanya tidak akan menunjukkan kecuali kepada yang haq (kebenaran), sedangkan pendapat manusia kadang benar kadang salah.” (Al-Intishar li Ahlil Hadits: 99)

Ibnul Qoyyim menyimpulkan bahwa pendapat akal yang tercela itu ada beberapa macam:
a. Pendapat akal yang menyelisihi nash Al Qur’an atau As Sunnah.
b. Berbicara masalah agama dengan prasangka dan perkiraan yang dibarengi dengan sikap menyepelekan mempelajari nash-nash, serta memahami dan mengambil hukum darinya.
c. Pendapat akal yang berakibat menolak asma’ (nama) Allah, sifat-sifat dan perbuatan-Nya dengan teori atau qiyas yang batil yang dibuat oleh para pengikut filsafat.
d. Pendapat yang mengakibatkan tumbuhnya bid’ah dan matinya Sunnah.
e. Berbicara dalam hukum-hukum syariat sekedar dengan anggapan baik dan prasangka.
Adapun pendapat akal yang terpuji, secara ringkas adalah yang sesuai dengan syariat dengan tetap mengutamakan dalil syariat. (lihat, I’lam Muwaqqi’in: 1/104-106, Al- Intishar: 21,24, dan Al Aql wa Manzilatuhu)

7. Menghindari perdebatan dalam agama. Nabi
Shallallahu 'alayhi wa Sallam bersabda:

Tidaklah sebuah kaum sesat setelah mereka berada di atas petunjuk kecuali mereka akan diberi sifat jadal (berdebat). Lalu beliau membaca ayat, artinya: ‘Bahkan mereka adalah kaum yang suka berbantah-bantahan’.” (Hasan, HR Tirmidzi dari Abu Umamah Al Bahili, dihasankan oleh As Syaikh Al Albani dalam Shahihul Jami’ no: 5633)

Ibnu Rajab mengatakan: “Di antara sesuatu yang diingkari para Imam salafus shalih adalah perdebatan, berbantah-bantahan dalam masalah halal dan haram. Itu bukan jalannya para Imam agama ini.” (Fadl Ilm Salaf 57 dari Al-Intishar: 94).

Ibnu Abil Izz menerangkan makna mira’ (berbantah-bantahan) dalam agama Allah adalah membantah ahlul haq (pemegang kebenaran) dengan menyebutkan syubhat-syubhat ahlul bathil, dengan tujuan membuat keraguan padanya dan menyimpangkannya. Karena perbuatan yang demikian ini mengandung ajakan kepada kebatilan dan menyamarkan yang hak serta merusak agama Islam. (Syarh Aqidah Thahawiyah: 313)

Oleh karenanya Allah memerintahkan berdebat dengan yang paling baik. Firman-Nya:

“Ajaklah kepada jalan Rabb-Mu dengan hikmah, mau’idhah (nasihat) yang baik dan berdebatlah dengan yang paling baik.” (An-Nahl: 125).

Para ulama menerangkan bahwa perdebatan yang paling baik bisa terwujud jika niat masing-masing dari dua belah pihak baik. Masalah yang diperdebatkan juga baik dan mungkin dicapai kebenarannya dengan diskusi. Masing-masing beradab dengan adab yang baik, dan memang punya kemampuan ilmu serta siap menerima yang haq jika kebenaran itu muncul dari hasil perdebatan mereka. Juga bersikap adil serta menerima kembalinya orang yang kembali kepada kebenaran. (lihat rinciannya dalam Mauqif Ahlussunnah 2/587-611 dan Ar-Rad ‘Alal Mukhalif hal:56-62).

Perdebatan para shahabat dalam sebuah masalah adalah perdebatan musyawarah dan nasehat. Bisa jadi mereka berselisih dalam sebuah masalah ilmiah atau amaliah dengan tetap bersatu dan berukhuwwah. (Majmu’ Fatawa 24/172)

Inilah beberapa rambu-rambu dalam mengambil ilmu agama sebagaimana terdapat dalam Al Qur’an maupun hadits yang shahih serta keterangan para ulama. Kiranya itu bisa menjadi titik perhatian kita dalam kehidupan beragama ini, sehingga kita berharap bisa beragama sesuai yang diinginkan oleh Allah dan Rasul-Nya.

http://www.asysyariah.com/syariah.php?menu=detil&id_online=67

Thursday, March 23, 2006

First post

It's first post!!!