Monday, July 09, 2007

Tidak ada shalat tanpa bersuci dan tidak ada shadaqah dari harta haram

Dari 'Abdullah bin 'Umar radhiyallahu 'anhuma, Rasulullah Shallallahu 'alayhi wa Sallam bersabda (yang artinya):

لاَ تُقْبَلُ صَلاَةٌ بِغَيْرِ طُهُورٍ وَلاَ صَدَقَةٌ مِنْ غُلُولٍ

"Tidak diterima shalat tanpa bersuci dan tidak ada shadaqah dari ghulul." (HR. Muslim)

Hadits serupa dengan lafazh yang berbeda-beda juga diriwayatkan Ibnu Majah dan Ibnu Hibban dari Ibnu 'Umar, ath-Thabrany dalam al-Awsath dari az-Zubayr serta Ibnu Khuzaymah, Abu 'Awanah dalam Mustakhraj dan Abu Ya'la dalam Musnad-nya dari Abu Hurayrah.

Mengenai hadits ini, yang dimaksud dengan "tidak diterima" adalah penafian. Penafian lebih kuat dari pengharaman karena penafian mengandung dua perkara:

  • haramnya perbuatan itu
  • batalnya ibadah terkait
Namun lafazh "tidak diterima" tidak selalu bermakna batalnya ibadah itu. Cara membedakannya adalah dilihat dari apakah perbuatan tersebut terkait dengan ibadah itu atau tidak.

Sebagai contoh, hadits bahwa orang yang pergi ke dukun dan bertanya padanya sesuatu maka shalatnya tidak diterima selama 40 hari. Hadits ini diartikan bahwa orang itu tidak memperoleh ganjaran shalat yang ia lakukan karena pergi ke dukun bukanlah bagian dari ibadah shalat. Sedangkan dalam hadits di atas, bersuci adalah bagian dari shalat sehingga di sini maknanya adalah penafian yang mencakup batalnya ibadah shalat.

Hadits ini menunjukkan bahwa bersuci termasuk syarat sahnya shalat. Shalat di sini mencakup semua jenis shalat, baik yang memiliki ruku' dan sujud atau selainnya.

Apakah hukumnya seseorang dengan sengaja shalat dalam keadaan tidak bersuci? Ada dua pendapat:
  • Ia memperoleh 'adzab. Ini adalah pendapat jumhur.
  • Ia kafir. Ini adalah pendapat Hanafiyah. Pengkafiran ini adalah karena shalat dalam keadaan tidak suci adalah bentuk mengolok-olok shalat sedangkan mengolok-olok bagian dari syari'at adalah perbuatan kufur (lihat QS. 9:64-66).
Bagian kedua adalah mengenai sumber harta shadaqah. Shadaqah ada tiga macam:
  • shadaqah wajibah yakni zakat.
  • shadaqah sunnah
  • kaffarah seperti fidyah dan pembatalan sumpah.
Ghulul adalah harta yang diambil dari ghanimah (rampasan perang) sebelum dibagi. Di sini yang dimaksudkan adalah harta yang diambil dengan cara khianat mencakup juga uang suap dan yang semisalnya. Ini merupakan dalil bahwa tidak diterima shadaqah dari harta yang haram.

[Dari kajian ba'da Shalat Jum'at bersama Syaikh 'Abdul Qadir al-Junayd hafizhahullah di Masjid 'Utbah bin Ghazwan radhiyallahu 'anhu, Dammam, KSA tanggal 6 Juli 2007]

Sunday, July 08, 2007

Barcode 666?

Catatan: sebelumnya saya telah mencoba mengirimkan koreksi ini ke alamat info {at} eramuslim.com sebagaimana tercantum di halaman kontak (http://www.eramuslim.com/info/kontak.htm) namun ternyata gagal diterima dengan pesan "PERM_FAILURE: SMTP Error (state 13): 553 5.1.1 Sorry, that recipient does not exist." Harap yang memiliki kontak ke Eramuslim untuk menyampaikannya.

Eramuslim memiliki artikel berjudul "Ada Angka Iblis di Tiap Barcode"

http://www.eramuslim.com/berita/tha/45d16eb9.htm

Ada baiknya untuk dikaji lagi pemberitaan itu karena dapat dikatakan tidak berdasar.

Lihat:

http://www.av1611.org/666/barcode.html
http://www.howstuffworks.com/upc.htm
http://educ.queensu.ca/~compsci/units/encoding/barcodes/undrstnd.html
http://microscan.com/e-learning/content/pdf/linearbar_codes_101.pdf

Bisa dicoba juga membuat barcode di:

http://www.terryburton.co.uk/barcodewriter/generator/

Coba pilih encoder UPC-A dan contents 66666666666.

Muslim Girl vs Seventeen

Catatan: sebelumnya saya telah mencoba mengirimkan koreksi ini ke alamat info {at} eramuslim.com sebagaimana tercantum di halaman kontak (http://www.eramuslim.com/info/kontak.htm) namun ternyata gagal diterima dengan pesan "PERM_FAILURE: SMTP Error (state 13): 553 5.1.1 Sorry, that recipient does not exist." Harap yang memiliki kontak ke Eramuslim untuk menyampaikannya.

Dalam artikel berjudul "Majalah Muslim Girl di AS, Saingi Tiras Seventen":

http://www.eramuslim.com/berita/int/7328112758-majalah-muslim-girl-as-saingi-tiras-seventen.htm

disebutkan:

"Memasuki bulan ketiga, majalah Muslim Girl, yang terbit di Amerika, makin mendapat sambutan pasar yang luas di kalangan remaja puteri AS. Tiras majalah Islam yang baru muncul itu kini sudah mendekati tiras majalah remaja AS Seventen, yang semula merajai minat remaja puteri di Amerika."

(penebalan dari saya)

Pernyataan tersebut berlebihan karena menurut:

http://www.mediabuyerplanner.com/2006/11/08/seventeen-editor-in-chief-calls-it-quits/
(tertanggal 8 November 2006)

sirkulasi Seventeen mencapai 2,01 juta sedangkan menurut:

http://www.startribune.com/389/story/1220305.html
(tertanggal 3 Juni 2007)

sirkulasi Muslim Girl adalah 50.000. Kedua angka itu rasanya tidak tepat dikatakan "mendekati".

Saya harapkan berita tersebut dapat dikoreksi agar lebih sesuai dengan fakta.

Wabillahit tawfiq.

Popular Science: The Worst Jobs in Science 2007

Number 10: Whale-Feces Researcher
They scoop up whale dung, then dig through it for clues

Number 9: Forensic Entomologist
Solving murders by studying maggots

Number 8: Olympic Drug Tester
When your job is drug testing the world's top athletes, there's no way to win

Number 7: Gravity Research Subject
They're strapped down so astronauts can blast off

Number 6: Microsoft Security Grunt
Like wearing a big sign that reads "Hack Me"

Number 5: Coursework Carcass Preparer
They kill, pickle, and bottle the critters that schoolkids cut up

Number 4: Garbologist
Think Indiana Jones— in a Dumpster

Number 3: Elephant Vasectomist
When your patient is Earth's largest land animal, sterilization is a big job

Number 2: Oceanographer
Nothing but bad news, day in and day out

Number 1: Hazmat Diver
They swim in sewage. Enough said.

http://www.popsci.com/popsci/science/0203101256a23110vgnvcm1000004eecbccdrcrd.html

Dialog 'Abdullah bin 'Abbas radhiyallahu 'anhuma dengan kaum Khawarij

Catatan: Tulisan ini adalah sebagai tambahan posting Pak Syamsul tentang Khawarij di sini.

Ketika kaum Haruriyah (salah satu kelompok Khawarij) mengasingkan diri ke sebuah kampung, saat itu mereka berjumlah enam ribu orang, mereka sepakat melakukan pembangkangan terhadap Ali bin Abi Thalib radhiyallahu 'anhu. Orang-orang terus-menerus mendatangi Ali dan berkata: "Wahai Amirul Mukminin, sesungguhnya mereka telah membangkang terhadapmu." Ali berkata: "Biarkanlah mereka; aku tidak akan memerangi mereka hingga merekalah yang lebih dahulu memerangiku, dan tidak lama lagi mereka akan melakukannya."

Pada suatu hari, aku pun (yakni Abdullah bin Abbas radhiyallahu 'anhuma) datang menemui beliau sebelum shalat Zhuhur. Kukatakan kepadanya: "Wahai Amirul Mu'minin, akhirkanlah pelaksanaan shalat hingga suhu udara dingin, barangkali aku bisa berdialog dengan mereka, kaum Khawarij." "Aku mengkhawatirkan keselamatanmu," kata Ali. Saya katakan: "Jangan khawatir, aku adalah orang baik-baik dan tidak pernah menyakiti orang lain." Akhirnya, Ali pun merestuiku.

Aku pun mengenakan pakaian dari Yaman yang bagus, memperbaiki penampilanku lalu datang menemui mereka di tengah hari. Saat itu mereka tengah makan siang. Belum pernah aku lihat orang yang lebih tekun beribadah daripada mereka. Kulihat dahi mereka menghitam karena terlalu lama sujud. Tangan mereka kapalan seperti tapak kaki unta. Mereka mengenakan pakaian usang dengan lengan baju tersingsing ke atas dan wajah cemberut. Aku mengucapkan salam kepada mereka. "Selamat datang hai Ibnu Abbas! Pakaian apa yang engkau pakai itu!?" tanya mereka ketus. Abdullah bin Abbas menjawab: "Apakah kalian mencelaku karena mengenakan pakaian ini? Sungguh, penampilan Rasulullah shallallahu 'alayhi wa sallam yang terbaik yang pernah kulihat adalah tatkala beliau mengenakan pakaian dari Yaman!" Kemudian aku membacakan firman Allah Subhanahu wa Ta'ala:

"Katakanlah: "Siapakah yang mengharamkan perhiasan dari Allah yang telah dikeluarkan-Nya untuk hamba-hamba-Nya dan (siapa pulakah yang mengharamkan) rezeki yang baik?"" (QS. al-A'raaf 7:32)

"Apa tujuanmu datang ke mari?" selidik mereka. Abdullah bin Abbas menjelaskannya: "Aku adalah utusan shahabat Nabi shallallahu 'alayhi wa sallam dari kalangan Muhajirin dan Anshar, utusan keponakan Rasulullah shallallahu 'alayhi wa sallam dan menantu beliau - atas merekalah al-Qur'an diturunkan. Mereka lebih mengetahui maksudnya daripada kalian. Tidak ada satu pun di antara kalian yang berasal dari mereka-. Aku ingin menyampaikan perkataan-perkataan kalian kepada mereka!" Salah seorang dari mereka berkata: "Tidak usah diladeni orang Quraisy itu, sebab Allah 'Azza wa Jalla telah mengatakan:

"Sebenarnya mereka adalah kaum yang suka bertengkar." (QS. az-Zukhruf 43:58)

Lalu beberapa orang dari mereka datang menemuiku. Dua atau tiga orang dari mereka berkata: "Mari kita berdialog dengannya!" Maka aku katakan: "Sebutkanlah, mengapa kalian memusuhi Shahabat Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam dan keponakan beliau!" "Karena tiga hal!" kata mereka. "Apa itu?" tanyaku. Mereka berkata: "Pertama, ia (Ali) mengangkat manusia sebagai hakim dalam memutuskan hukum Allah. Padahal Allah telah berfirman:

"Keputusan itu hanyalah kepunyaan Allah." (QS. Yusuf 12:40)

Lalu buat apa manusia diikutsertakan dalam memutuskan hukum Allah? "Ini masalah pertama," kataku. Mereka melanjutkan: "Adapun masalah kedua, ia telah berperang namun tidak mengambil tawanan dan harta rampasan perang. Sekiranya orang yang diperanginya itu kafir; tentu mereka boleh ditawan. Namun sekiranya mereka adalah mukminin, maka mereka tidak boleh ditawan dan diperangi." "Ini masalah kedua, lalu apa masalah ketiga?" tanyaku. Mereka menyebutkan masalah ketiga, kira-kira seperti ini maknanya, Mereka berkata: "Ia telah menghapus dirinya dari jabatan Amirul Mu'minin, jika ia bukan Amirul Mu'minin berarti ia adalah amirul kafirin." "Adakah masalah lain selain itu?" tanyaku. "Cukup tiga masalah itu saja!" kata mereka.

Maka kukatakan kepada mereka: "Bagaimana sekiranya kubacakan kepada kalian ayat-ayat Al-Qur'an dan Sunnah Nabi-Nya shallallahu 'alaihi wa sallam yang menolak alasan kalian itu, apakah kalian bersedia rujuk?" "Tentu!" jawab mereka. Maka aku pun berkata: "Adapun ucapan kalian: 'Ia telah mengangkat manusia sebagai hakim dalam memutuskan hukum Allah,' saya akan membacakan kepada kalian satu ayat dalam Kitabullah, dalam ayat itu Allah menyerahkan keputusan hukum kepada manusia tentang denda sebesar delapan seperempat dirham. Allah Tabaaraka wa Ta'ala memerintahkan supaya menyerahkan hukum kepada mereka dalam masalah ini. Coba simak firman Allah Tabaaraka wa Ta'ala berikut:

"Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu membunuh binatang buruan, ketika kamu sedang ihram. Barang siapa di antara kamu membunuhnya dengan sengaja, maka dendanya ialah mengganti dengan binatang ternak seimbang dengan buruan yang dibunuhnya, menurut putusan dua orang yang adil di antara kamu." (QS. Al-Maa-idah 5:95)

Salah satu hukum Allah adalah menyerahkan keputusan hukum kepada manusia untuk menyelesaikan masalah tersebut. Sekiranya dia mau, dia boleh menetapkan hukum dalam masalah tersebut. Berarti Allah membolehkan kita menyerahkan hukum kepada manusia. Demi Allah, manakah yang lebih afdhal, menyerahkan keputusan hukum kepada manusia untuk mendamaikan dua pihak yang bertikai dan untuk menghentikan pertumpahan darah ataukah menyerahkan keputusan hukum kepada manusia untuk menentukan nasib seekor kelinci?

"Tentu saja yang pertama lebih afdhal!" jawab mereka.

Abdullah bin Abbas melanjutkan: "Dan Allah menyerahkan keputusan hukum kepada manusia dalam menyelesaikan masalah suami isteri. Allah berfirman:

"Dan jika kamu khawatirkan ada persengketaan antara keduanya, maka kirimlah seorang hakam dari keluarga laki-laki dan seorang hakam dari keluarga perempuan." (QS. An-Nisaa' 4:35)

Demi Allah, aku bertanya kepada kalian, manakah yang lebih afdhal, menyerahkan keputusan hukum kepada manusia untuk mendamaikan dua pihak yang bertikai dan menghentikan pertumpahan darah ataukah menyerahkan keputusan hukum kepada manusia untuk menyelesaikan masalah perempuan?"

"Tentu saja yang pertama lebih afdhal!" jawab mereka.

Abdullah bin Abbas radhiallahu 'anhum berkata: "Apakah kalian bersedia menarik perkataan kalian?"

"Ya bersedia!" jawab mereka.

Aku (Abdullah bin Abbas) berkata: "Ia berperang tapi tidak mengambil tawanan dan harta rampasan perang," maka apakah kalian mau menawan Ummul Mu'minin 'Aisyah radhiallahu 'anha, lalu menghalalkan atasnya apa yang kalian halalkan atas selainnya sementara ia adalah Ummahatul Mukminin? Jika kalian katakan: Kami menghalalkan atasnya apa yang dihalalkan atas selainnya berarti kalian telah kafir. Jika kalian katakan: Ia bukan Ummul Mu'minin, maka kalian telah kafir, karena Allah berfirman:

"Nabi itu (hendaknya) lebih utama bagi orang-orang mukmin dari diri mereka sendiri dan istri-istrinya adalah ibu-ibu mereka." (QS. Al-Ahzab 33:6)

Jadi, kalian berada di antara dua kesesatan. Silahkan pilih salah satu di antara keduanya? Apakah kalian bersedia menarik ucapan kalian?"

"Ya kami bersedia!" jawab mereka.

'Abdullah bin 'Abbas radhiyallahu 'anhuma melanjutkan: "Adapun alasan ketiga: "Ia telah menghapus dirinya dari jabatan Amirul Mu'minin," maka aku akan memberikan contoh dari orang yang kalian cintai: Sesungguhnya Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam pada hari Hudaibiyah saat menandatangani perjanjian gencatan senjata dengan kaum musyrikin, beliau berkata kepada 'Ali: "Tulislah wahai 'Ali: Ini adalah perjanjian yang dibuat oleh Muhammad utusan Allah.

Orang-orang musyrik itu berkata: "Kalaulah kami mengetahui bahwa engkau adalah utusan Allah tentu kami tidak memerangimu."

Maka Rasulullah shallallahu 'alayhi wa sallam berkata: "Hapuslah tulisan itu wahai 'Ali, beliau telah menghapus dirinya dari jabatan kenabian, namun bukanlah berarti jabatan tersebut terlepas dari beliau! Apakah beliau bersedia menarik ucapan kalian?"

"Ya kami bersedia!" jawab mereka.

Maka dua ribu orang dari mereka pun rujuk kepada kebenaran, sementara mayoritas dari mereka tetap bersikeras membangkang terhadap 'Ali. Mereka pun mati di atas kesesatan setelah diperangi oleh kaum Muhajirin dan Anshar."

[Riwayat shahih, dikeluarkan oleh 'Abdurrazzaq dalam al-Mushannaf (18678), Ahmad (I/342), Abu Ubaid dalam al-Amwaal (444), an-Nasa-i dalam Khashaaish 'Ali (190), al-Fasawi dalam al-Ma'rifah wat Taariikh (I/522-524), al-Hakim (II/150-152), Abu Nu'aim dalam Hilyatul Auliya' (I/318-320), al-Baihaqi dalan as-Sunanul Kubra (VII/179), Ibnu 'Abdil Barr dalam Jaami' Bayaanil 'Ilm (II/103-104), Ibnul Jauzi dalam Talbiis Ibliis (halaman 91-93) dan Abul Faraj al-Jariiri dalam al-Majliisush Shaalihul Kaafi(I/558-560), seluruhnya dari jalur 'Ikrimah bin 'Ammar, ia berkata: "Abu Zamil telah menceritakan kepadaku, ia berkata: 'Abdullah bin 'Abbas telah menceritakan kepadaku, lalu ia menyebutkan kisah tersebut."

Al-Hakim berkata: "Shahih, sesuai dengan syarat Muslim." Dan disetujui oleh adz-Dzahabi. Saya (Syaikh Salim bin 'Ied al-Hilali) katakan: "Benar kata mereka berdua!"]

[Disalin dari terj. Mausuu'ah al-Manaahiyyiys Syar'iyyah fii Shahiihis Sunnah an-Nabawiyyah (Ensiklopedi Larangan Menurut Al-Qur'an dan As-Sunnah) karya asy-Syaikh Salim bin 'Ied al-Hilali, Jilid 1 hal. 177-180]

DISKUSI TANPA PERDEBATAN

Jauhilah perdebatan, karena akan menjadi bencana. Adapun berdiskusi dalam kebenaran adalah kenikmatan. Sebab akan bisa menampakkan mana yang benar dan mana yang bathil, mana yang kuat dan tidak. Diskusi ini didasari atas saling menasehati, kasih sayang dan keinginan menyebarkan ilmu. Adapun perdebatan hanyalah ingin menang, riya', mencari kesalahan, sombong, yang penting menang, permusuhan dan membodohi orang yang memang bodoh. Maka jauhilah perdebatan ini, juga jauhilah orang yang suka debat, niscaya engkau akan selamat dari dosa dan perbuatan haram.

Diskusi bisa menyebabkan seseorang faham dan mampu untuk berdebat. Sedangkan berdebat dalam mencari kebenaran diperintahkan oleh Allah, sebagaimana firman-Nya (yang artinya):

"Serulah (manusia) kepada jalan Tuhanmu dengan hikmah dan pelajaran yang baik dan bantahlah mereka dengan cara yang baik..." (QS. an-Nahl 16:125)

Apabila seseorang terbiasa dengan diskusi dan perdebatan, maka dia akan memperoleh banyak kebaikan, karena betapa banyak orang yang berdebat dengan ahli bathil lalu kalah karena dia tidak mampu untuk berdebat. Perdebatan itu ada dua macam:

Pertama, perdebatan untuk membodohi orang bodoh dan menantang orang pintar agar bisa mengalahkannya, perdebatan ini tercela.

Kedua, perdebatan untuk mencari kebenaran meskipun kebenaran itu ada pada lawan debatnya. Perdebatan yang ini diperintahkan. Ciri-ciri dari perdebatan ini adalah apabila sudah sampai pada sebuah kebenaran, maka dia menerimanya dan kembali kepada kebenaran tersebut. Adapun kalau perdebatan itu hanya untuk membela diri, maka meskipun sudah nampak kebenaran baginya dia akan kembali mempertanyakan dengan mengatakan: "Seandainya ada yang mengatakan demikian bagaimana?" Dan apabila sudah dijawab, maka dia pun berkata lagi: "Seandainya ada lagi yang berkata demikian, maka bagaimana jawabannya?" Dan demikian terus tidak selesai-selesai. Orang semacam ini berbahaya karena hatinya tidak mau menerima kebenaran, baik saat berdebat dengan orang lain maupun saat merenung sendiri. Mungkin ada syaithan yang menanyakan pertanyaan-pertanyaan di atas. Sebagaimana firman Allah Ta'ala (yang artinya):

"Dan (begitu pula) Kami memalingkan hati dan penglihatan mereka seperti mereka belum pernah beriman kepadanya (Al Qur'an) pada permulaannya, dan Kami biarkan mereka bergelimang dalam kesesatannya yang sangat." (QS. al-An'aam 6:110)

Juga firman-Nya (yang artinya):

"...Jika mereka berpaling (dari hukum yang telah diturunkan Allah), maka ketahuilah bahwa sesungguhnya Allah menghendaki akan menimpakan musibah kepada mereka disebabkan sebahagian dosa-dosa mereka...." (QS. al-Maa-idah 5:49)

Saudaraku... hendaknya engkau mencari kebenaran baik saat berdebat dengan orang lain ataupun saat merenung sendirian, kalau kebenaran itu sudah nampak maka segeralah mengatakan saya dengar dan saya akan menaatinya. Oleh karena itu para Sahabat menerima hukum Rasulullah Shallallahu 'alayhi wa Sallam tanpa membantah sedikitpun, juga mereka tidaklah mengatakan bagaimana pendapatmu tentang hal ini dan itu. Ada seseorang yang berdebat dengan 'Abdullah bin 'Umar radhiyallahu 'anhuma lalu dia berkata bagaimana pendapatmu? Maka beliau menjawab: "Jadikanlah ucapanmu (bagaimana pendapatmu) di negeri Yaman." Karena orang tersebut memang berasal dari Yaman.

Tatkala orang-orang Irak bertanya kepada beliau tentang darah nyamuk, apakah boleh membunuh nyamuk ataukah tidak, maka beliau menjawab: "Subhaanallah orang-orang Irak ini membunuh cucu Rasulullah, lalu mereka datang untuk bertanya tentang darah nyamuk?" Tidak diragukan lagi bahwa orang semacam ini hanyalah ingin berdebat saja.

[Syarh Hilyah Thaalibil 'Ilmi karya asy-Syaikh Muhammad bin Shalih al-'Utsaimin rahimahullah (Syarah Adab & Manfaat Menuntut Ilmu, Pustaka Imam asy-Syafi'i, 2005; hlm. 217-219]