Sunday, July 08, 2007

Dialog 'Abdullah bin 'Abbas radhiyallahu 'anhuma dengan kaum Khawarij

Catatan: Tulisan ini adalah sebagai tambahan posting Pak Syamsul tentang Khawarij di sini.

Ketika kaum Haruriyah (salah satu kelompok Khawarij) mengasingkan diri ke sebuah kampung, saat itu mereka berjumlah enam ribu orang, mereka sepakat melakukan pembangkangan terhadap Ali bin Abi Thalib radhiyallahu 'anhu. Orang-orang terus-menerus mendatangi Ali dan berkata: "Wahai Amirul Mukminin, sesungguhnya mereka telah membangkang terhadapmu." Ali berkata: "Biarkanlah mereka; aku tidak akan memerangi mereka hingga merekalah yang lebih dahulu memerangiku, dan tidak lama lagi mereka akan melakukannya."

Pada suatu hari, aku pun (yakni Abdullah bin Abbas radhiyallahu 'anhuma) datang menemui beliau sebelum shalat Zhuhur. Kukatakan kepadanya: "Wahai Amirul Mu'minin, akhirkanlah pelaksanaan shalat hingga suhu udara dingin, barangkali aku bisa berdialog dengan mereka, kaum Khawarij." "Aku mengkhawatirkan keselamatanmu," kata Ali. Saya katakan: "Jangan khawatir, aku adalah orang baik-baik dan tidak pernah menyakiti orang lain." Akhirnya, Ali pun merestuiku.

Aku pun mengenakan pakaian dari Yaman yang bagus, memperbaiki penampilanku lalu datang menemui mereka di tengah hari. Saat itu mereka tengah makan siang. Belum pernah aku lihat orang yang lebih tekun beribadah daripada mereka. Kulihat dahi mereka menghitam karena terlalu lama sujud. Tangan mereka kapalan seperti tapak kaki unta. Mereka mengenakan pakaian usang dengan lengan baju tersingsing ke atas dan wajah cemberut. Aku mengucapkan salam kepada mereka. "Selamat datang hai Ibnu Abbas! Pakaian apa yang engkau pakai itu!?" tanya mereka ketus. Abdullah bin Abbas menjawab: "Apakah kalian mencelaku karena mengenakan pakaian ini? Sungguh, penampilan Rasulullah shallallahu 'alayhi wa sallam yang terbaik yang pernah kulihat adalah tatkala beliau mengenakan pakaian dari Yaman!" Kemudian aku membacakan firman Allah Subhanahu wa Ta'ala:

"Katakanlah: "Siapakah yang mengharamkan perhiasan dari Allah yang telah dikeluarkan-Nya untuk hamba-hamba-Nya dan (siapa pulakah yang mengharamkan) rezeki yang baik?"" (QS. al-A'raaf 7:32)

"Apa tujuanmu datang ke mari?" selidik mereka. Abdullah bin Abbas menjelaskannya: "Aku adalah utusan shahabat Nabi shallallahu 'alayhi wa sallam dari kalangan Muhajirin dan Anshar, utusan keponakan Rasulullah shallallahu 'alayhi wa sallam dan menantu beliau - atas merekalah al-Qur'an diturunkan. Mereka lebih mengetahui maksudnya daripada kalian. Tidak ada satu pun di antara kalian yang berasal dari mereka-. Aku ingin menyampaikan perkataan-perkataan kalian kepada mereka!" Salah seorang dari mereka berkata: "Tidak usah diladeni orang Quraisy itu, sebab Allah 'Azza wa Jalla telah mengatakan:

"Sebenarnya mereka adalah kaum yang suka bertengkar." (QS. az-Zukhruf 43:58)

Lalu beberapa orang dari mereka datang menemuiku. Dua atau tiga orang dari mereka berkata: "Mari kita berdialog dengannya!" Maka aku katakan: "Sebutkanlah, mengapa kalian memusuhi Shahabat Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam dan keponakan beliau!" "Karena tiga hal!" kata mereka. "Apa itu?" tanyaku. Mereka berkata: "Pertama, ia (Ali) mengangkat manusia sebagai hakim dalam memutuskan hukum Allah. Padahal Allah telah berfirman:

"Keputusan itu hanyalah kepunyaan Allah." (QS. Yusuf 12:40)

Lalu buat apa manusia diikutsertakan dalam memutuskan hukum Allah? "Ini masalah pertama," kataku. Mereka melanjutkan: "Adapun masalah kedua, ia telah berperang namun tidak mengambil tawanan dan harta rampasan perang. Sekiranya orang yang diperanginya itu kafir; tentu mereka boleh ditawan. Namun sekiranya mereka adalah mukminin, maka mereka tidak boleh ditawan dan diperangi." "Ini masalah kedua, lalu apa masalah ketiga?" tanyaku. Mereka menyebutkan masalah ketiga, kira-kira seperti ini maknanya, Mereka berkata: "Ia telah menghapus dirinya dari jabatan Amirul Mu'minin, jika ia bukan Amirul Mu'minin berarti ia adalah amirul kafirin." "Adakah masalah lain selain itu?" tanyaku. "Cukup tiga masalah itu saja!" kata mereka.

Maka kukatakan kepada mereka: "Bagaimana sekiranya kubacakan kepada kalian ayat-ayat Al-Qur'an dan Sunnah Nabi-Nya shallallahu 'alaihi wa sallam yang menolak alasan kalian itu, apakah kalian bersedia rujuk?" "Tentu!" jawab mereka. Maka aku pun berkata: "Adapun ucapan kalian: 'Ia telah mengangkat manusia sebagai hakim dalam memutuskan hukum Allah,' saya akan membacakan kepada kalian satu ayat dalam Kitabullah, dalam ayat itu Allah menyerahkan keputusan hukum kepada manusia tentang denda sebesar delapan seperempat dirham. Allah Tabaaraka wa Ta'ala memerintahkan supaya menyerahkan hukum kepada mereka dalam masalah ini. Coba simak firman Allah Tabaaraka wa Ta'ala berikut:

"Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu membunuh binatang buruan, ketika kamu sedang ihram. Barang siapa di antara kamu membunuhnya dengan sengaja, maka dendanya ialah mengganti dengan binatang ternak seimbang dengan buruan yang dibunuhnya, menurut putusan dua orang yang adil di antara kamu." (QS. Al-Maa-idah 5:95)

Salah satu hukum Allah adalah menyerahkan keputusan hukum kepada manusia untuk menyelesaikan masalah tersebut. Sekiranya dia mau, dia boleh menetapkan hukum dalam masalah tersebut. Berarti Allah membolehkan kita menyerahkan hukum kepada manusia. Demi Allah, manakah yang lebih afdhal, menyerahkan keputusan hukum kepada manusia untuk mendamaikan dua pihak yang bertikai dan untuk menghentikan pertumpahan darah ataukah menyerahkan keputusan hukum kepada manusia untuk menentukan nasib seekor kelinci?

"Tentu saja yang pertama lebih afdhal!" jawab mereka.

Abdullah bin Abbas melanjutkan: "Dan Allah menyerahkan keputusan hukum kepada manusia dalam menyelesaikan masalah suami isteri. Allah berfirman:

"Dan jika kamu khawatirkan ada persengketaan antara keduanya, maka kirimlah seorang hakam dari keluarga laki-laki dan seorang hakam dari keluarga perempuan." (QS. An-Nisaa' 4:35)

Demi Allah, aku bertanya kepada kalian, manakah yang lebih afdhal, menyerahkan keputusan hukum kepada manusia untuk mendamaikan dua pihak yang bertikai dan menghentikan pertumpahan darah ataukah menyerahkan keputusan hukum kepada manusia untuk menyelesaikan masalah perempuan?"

"Tentu saja yang pertama lebih afdhal!" jawab mereka.

Abdullah bin Abbas radhiallahu 'anhum berkata: "Apakah kalian bersedia menarik perkataan kalian?"

"Ya bersedia!" jawab mereka.

Aku (Abdullah bin Abbas) berkata: "Ia berperang tapi tidak mengambil tawanan dan harta rampasan perang," maka apakah kalian mau menawan Ummul Mu'minin 'Aisyah radhiallahu 'anha, lalu menghalalkan atasnya apa yang kalian halalkan atas selainnya sementara ia adalah Ummahatul Mukminin? Jika kalian katakan: Kami menghalalkan atasnya apa yang dihalalkan atas selainnya berarti kalian telah kafir. Jika kalian katakan: Ia bukan Ummul Mu'minin, maka kalian telah kafir, karena Allah berfirman:

"Nabi itu (hendaknya) lebih utama bagi orang-orang mukmin dari diri mereka sendiri dan istri-istrinya adalah ibu-ibu mereka." (QS. Al-Ahzab 33:6)

Jadi, kalian berada di antara dua kesesatan. Silahkan pilih salah satu di antara keduanya? Apakah kalian bersedia menarik ucapan kalian?"

"Ya kami bersedia!" jawab mereka.

'Abdullah bin 'Abbas radhiyallahu 'anhuma melanjutkan: "Adapun alasan ketiga: "Ia telah menghapus dirinya dari jabatan Amirul Mu'minin," maka aku akan memberikan contoh dari orang yang kalian cintai: Sesungguhnya Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam pada hari Hudaibiyah saat menandatangani perjanjian gencatan senjata dengan kaum musyrikin, beliau berkata kepada 'Ali: "Tulislah wahai 'Ali: Ini adalah perjanjian yang dibuat oleh Muhammad utusan Allah.

Orang-orang musyrik itu berkata: "Kalaulah kami mengetahui bahwa engkau adalah utusan Allah tentu kami tidak memerangimu."

Maka Rasulullah shallallahu 'alayhi wa sallam berkata: "Hapuslah tulisan itu wahai 'Ali, beliau telah menghapus dirinya dari jabatan kenabian, namun bukanlah berarti jabatan tersebut terlepas dari beliau! Apakah beliau bersedia menarik ucapan kalian?"

"Ya kami bersedia!" jawab mereka.

Maka dua ribu orang dari mereka pun rujuk kepada kebenaran, sementara mayoritas dari mereka tetap bersikeras membangkang terhadap 'Ali. Mereka pun mati di atas kesesatan setelah diperangi oleh kaum Muhajirin dan Anshar."

[Riwayat shahih, dikeluarkan oleh 'Abdurrazzaq dalam al-Mushannaf (18678), Ahmad (I/342), Abu Ubaid dalam al-Amwaal (444), an-Nasa-i dalam Khashaaish 'Ali (190), al-Fasawi dalam al-Ma'rifah wat Taariikh (I/522-524), al-Hakim (II/150-152), Abu Nu'aim dalam Hilyatul Auliya' (I/318-320), al-Baihaqi dalan as-Sunanul Kubra (VII/179), Ibnu 'Abdil Barr dalam Jaami' Bayaanil 'Ilm (II/103-104), Ibnul Jauzi dalam Talbiis Ibliis (halaman 91-93) dan Abul Faraj al-Jariiri dalam al-Majliisush Shaalihul Kaafi(I/558-560), seluruhnya dari jalur 'Ikrimah bin 'Ammar, ia berkata: "Abu Zamil telah menceritakan kepadaku, ia berkata: 'Abdullah bin 'Abbas telah menceritakan kepadaku, lalu ia menyebutkan kisah tersebut."

Al-Hakim berkata: "Shahih, sesuai dengan syarat Muslim." Dan disetujui oleh adz-Dzahabi. Saya (Syaikh Salim bin 'Ied al-Hilali) katakan: "Benar kata mereka berdua!"]

[Disalin dari terj. Mausuu'ah al-Manaahiyyiys Syar'iyyah fii Shahiihis Sunnah an-Nabawiyyah (Ensiklopedi Larangan Menurut Al-Qur'an dan As-Sunnah) karya asy-Syaikh Salim bin 'Ied al-Hilali, Jilid 1 hal. 177-180]

No comments: