لاَ تُقْبَلُ صَلاَةٌ بِغَيْرِ طُهُورٍ وَلاَ صَدَقَةٌ مِنْ غُلُولٍ
"Tidak diterima shalat tanpa bersuci dan tidak ada shadaqah dari ghulul." (HR. Muslim)
Hadits serupa dengan lafazh yang berbeda-beda juga diriwayatkan Ibnu Majah dan Ibnu Hibban dari Ibnu 'Umar, ath-Thabrany dalam al-Awsath dari az-Zubayr serta Ibnu Khuzaymah, Abu 'Awanah dalam Mustakhraj dan Abu Ya'la dalam Musnad-nya dari Abu Hurayrah.
Mengenai hadits ini, yang dimaksud dengan "tidak diterima" adalah penafian. Penafian lebih kuat dari pengharaman karena penafian mengandung dua perkara:
- haramnya perbuatan itu
- batalnya ibadah terkait
Sebagai contoh, hadits bahwa orang yang pergi ke dukun dan bertanya padanya sesuatu maka shalatnya tidak diterima selama 40 hari. Hadits ini diartikan bahwa orang itu tidak memperoleh ganjaran shalat yang ia lakukan karena pergi ke dukun bukanlah bagian dari ibadah shalat. Sedangkan dalam hadits di atas, bersuci adalah bagian dari shalat sehingga di sini maknanya adalah penafian yang mencakup batalnya ibadah shalat.
Hadits ini menunjukkan bahwa bersuci termasuk syarat sahnya shalat. Shalat di sini mencakup semua jenis shalat, baik yang memiliki ruku' dan sujud atau selainnya.
Apakah hukumnya seseorang dengan sengaja shalat dalam keadaan tidak bersuci? Ada dua pendapat:
- Ia memperoleh 'adzab. Ini adalah pendapat jumhur.
- Ia kafir. Ini adalah pendapat Hanafiyah. Pengkafiran ini adalah karena shalat dalam keadaan tidak suci adalah bentuk mengolok-olok shalat sedangkan mengolok-olok bagian dari syari'at adalah perbuatan kufur (lihat QS. 9:64-66).
- shadaqah wajibah yakni zakat.
- shadaqah sunnah
- kaffarah seperti fidyah dan pembatalan sumpah.
[Dari kajian ba'da Shalat Jum'at bersama Syaikh 'Abdul Qadir al-Junayd hafizhahullah di Masjid 'Utbah bin Ghazwan radhiyallahu 'anhu, Dammam, KSA tanggal 6 Juli 2007]
No comments:
Post a Comment